Akhir-akhir ini aku lagi seneng-senengnya dengerin lagu-lagunya Kang Jamie Aditya. Belakangan ini aku memang jadi agak nge-soul hihihi. 

Sebenarnya aku gak sengaja juga dengerin lagunya Kang Jamie ini, toh aku gak tau juga kalo dia ternyata juga seorang penyanyi, karena setahuku dia hanya seorang Pembawa Acara dan Aktor saja. Ketika pertama kali mendengarkan salah satu lagunya yang berjudul "Shine On" aku langsung suka lagu itu, padahal aku termasuk orang yang gak gampang suka sama sebuah lagu dan hanya ada beberapa lagu saja yang sanggup membuatku langsung jatuh cinta pada alunan pertama #jhiee. Gak tau juga sih ya, aku hanya merasa ada sesuatu yang beda aja pada cara pengemasan lagu-lagunya Kang Jamie ini. 

Lagu-lagunya Kang Jamie memang termasuk musik modern dengan ciri khasnya yaitu simple dan easy listening, tapi ada "cara baru" dan anti mainstream disana, yang mampu mematahkan pahamku selama ini yang menilai bahwa musik keren itu adalah musik yang rumit dan memerlukan skill kelas wahid untuk membawakannya, seperti lagu-lagunya Dream Theater, misalnya. 

Jadi, untuk menjadi menarik itu kayaknya memang tak selalu harus terlihat rumit. Terkesan sederhana tapi menyajikan sesuatu yang beda, justru akan terasa lebih nancep dihati. Iya gak sih?

Hari ini kegiatanku berjalan seperti biasa, tapi entah kenapa kok rasanya badan ini terasa lelah benget. Hampir tak ada semangat. Mungkin karena bebrapa hari ini aku harus menyelesaikan bebrapa tugasku hingga dini hari. Jadi kondisi tubuhku pun menurun.

Ah mungkin itu hanya alasanku saja. Sebenarnya sih aku tak ingin banyak alasan, karena alasan juga  butuh pembuktian. 

Semenjak beberpa waktu lalu, aku berkomitmen pada diriku sendiri untuk menulis disini setiap hari. Apapun itu. Namun ternyata aku belum sanggup untuk menunaikannya. Harus terus diasah dan terus belajar, itu sudah pasti. 

Namun terlepas dari semua itu, aku juga sadar, terkadang obsesi tak sejalan dengan kondisi fisik. Saat keinginan menulis lagi naik, fisik malah terkapar. Ketika badan lagi ngejreng, eeeehh malah ogah-ogahan nulis he he he

Ah sudahlah, bagaimanapun sebagai manusia biasa yang tidak istimewa, pasti aku juga akan dibatasi kemampuan. Dan sekarang sudah larut malam, aku harus menunaikan hak dari tubuhku ini untuk diistirahatkan. Selamat malam. 


Sudah ada beberapa orang yang setiap kali mengirimkan pesan singkat kepadaku, mereka selalu menuliskan kata "Ass..." pada awal tulisan pesan yang mereka kirim. Terus terang saja aku suka jadi pervert ketika menerima SMS dari mereka. Duh!

Sebenarnya aku mengerti bahwa maksud mereka itu adalah mengucap salam, hanya saja disingkat, dari kata "Assalamu'alaikum" menjadi "Ass..." Tapi bagaimanapun dalam lubuk hatiku yang paling dalam (halahh...,) aku tetap tidak bisa menerimanya. Untuk yang sedikit banyak mengerti bahasa inggris pasti tahu apa arti dari kata "ASS" itu. Rasanya jadi kurang sopan gitu deh he he.

Ada lagi beberapa temanku yang suka menuliskan salamnya hanya dengan kata "Mikum...," padahal apa susahnya sih menuliskan salam dengan lengkap, "Assamalu'alaikum" gitu? Apa saat mereka menulis SMS itu lagi dikejar Guguk? atau mungkin lagi kebelet pipis? sehingga terburu-buru, sampe nulis salam aja harus disingkat-singkat kayak gitu hi hi hi.

Makanya, kalo aku sih selalu berusaha ketika menuliskan apapun, apalagi di ruang publik seperti media sosial, selalu dengan kata-kata yang tertulis lengkap. Kecuali di twitter kali ya, soalnya di twitter julmah karakter tulisan kita kan dibatasi, hanya 140 karakter saja, jadi aku sering menyingkat beberapa kata dalam tulisanku disana, untuk menghemat karakter. Hanya saja harus aku akui, kelemahanku dalam menulis adalah seringnya aku melakukan tindakan  typo (kesalahan dalam penulisan) he he. Mohon dimaafkan ya!

Jadi pada intinya, alangkah baiknya jika kita menuliskan kata-kata dengan ejaan lengkap, apalagi bila situasinya sangat memungkinkan, terlebih lagi jika kata-kata itu menyangkut tata krama atau agama. Tujuannya untuk menghindari kesalahpahaman seperti yang aku alami pada kejadian diatas. Itu saja.

Alhamdulillah, sampai usiaku saat ini aku masih bisa melihat kedua Orangtuaku dalam keadaan sehat wal'afiat, tentu saja itu adalah suatu hal yang benar-benar harus aku syukuri, karena bila memperhatikan sekitar, beberapa temanku justru sudah tidak bisa bertemu dengan Orangtuanya, karena Orangtua mereka sudah meninggal dunia.

Tapi ada satu hal yang baru aku sadari. Saat masih kecil, kita cenderung tidak ingin berpisah dari Orangtua. Saat terbangun dari tidur, yang kita cari pasti Orangtua, saat mau makan pun begitu, bahkan saat mau pipis pun kita akan memanggil mereka. Tapi ketika semakin kita tumbuh dewasa, maka akan timbul keinginan untuk menjauh dari Orangtua, dengan alasan "kemandirian" (walaupun aku yakin tidak semua orang begitu.) 

Saat menginjak remaja, kita sudah mulai tak menghiraukan petuah Orangtua, karena (mungkin) tak ingin terlalu diawasi. Saat sudah mempunyai penghasilan sendiri, maka semakin besar keinginan untuk lebih "menjauh" dari Orangtua, punya rumah sendiri, kehidupan sendiri, aturan sendiri, dan yang lainnya pasti anda tahu sendiri hi hi hi. Aku pikir itu memang sesuatu yang wajar, karna ya itu tadi, karena memang alasan ingin mandiri.

Tapi kepikiran gak sih? semakin kita dewasa maka waktu kita untuk melihat Orangtua kita juga semakin berkurang. Kita semakin tua, apalagi Orangtua kita. Disini aku berbicara soal ajal. Tak ada yang bisa menebak masa depan dengan pasti, entah siapa yang terlebih dahulu dipanggil oleh-Nya. 

Nah, dari situ aku berpikir, mengapa aku harus mempunyai pikiran untuk semakin "menjauh" dari Orangtua, sedangkan  kesempatanku untuk bisa melihat / bersama mereka di dunia akan terus berkurang?

Hmm...?
29 Ways to Stay Creative

29 Ways to Stay Creative

Project by : Islam Abudaoud


Heii...lihat anak-anak kecil yang sedang berlarian itu, dengan telanjang kaki dan masing-masing membawa sebatang pohon Singkong mereka mengejar sebuah layang-layang putus. Layang-layang itu memang tak terlalu besar, jelek pulak, kertasnya saja sudah bolong, tapi itu tak menyurutkan semangat mereka untuk berlomba-lomba mendapatkan layang-layang tersebut, tentunya sambil berteriak-teriak dengan suara cempreng yang bisa membuat sakit gendang telinga “...awaaass, ku aiing!!! Awaaaass...beunang ku aiiiing!!!”

Akhirnya salah seorang dari mereka pun mendapatkan layang-layang itu. Kakinya yang terluka karena berlari di tanah sawah yang kering tanpa alas kaki pun seakan sudah dianggapnya  terbayar lunas dengan pencapaiannya itu. Luka ditangan karena tersayat gelasan (tali/benang layangan) pun tak ia pedulikan. Yang ada dipikirannya adalah "aku harus segera menerbangkan layangan ini, dan ngadu lagi!!!"

Dengan pasti ia menantang angin agar bertiup lebih kencang "kiuk...kiuk...kiuuuuuuukk!!!" serunya, memanggil angin. Jidatnya yang kian legam seakan menjadi bagian yang berada di garis depan dalam  melawan ganasnya terik Matahari. 

Layang-layang pun kini telah terbang, benang kian diulur untuk mencari lawan. Yapp...penantang pun datang, benang sudah saling mengait, adu strategi tarik ulur berlangsung seru dan tanpa ampun. Dan..."Yaaah...putuus." Dia kalah.

Ya, layang-layang yang dia dapatkan dengan susah payah tadi kini sudah lenyap dari genggaman. Diiringi suasana redup senja, dia dan merekapun berjalan beriringan untuk pulang, tentunya dengan rasa bahagia tanpa penyesalan. 

Sayangnya, semua kejadian itu hanya terjadi dalam kenanganku saja. Kenangan yang aku layangkan saat aku termangu di jalan setapak tengah sawah yang menjadi tempat menerbangkan layang-layangku dulu. Kini, tak terlihat lagi anak kecil yang berlarian mengejar layang-layang. Kini, tak terdengar lagi teriakan anak kecil yang berdebat memperebutkan sebuah layang-layang. Haaaaahhh...rasanya aku rindu dengan suasana itu.

Angin terasa semakin dingin, suasana semakin remang, puji-pujian mulai berkumandang, seakan memintaku untuk keluar dari kenangan. Ya sudah, semua sudah tak sama, mungkin memang sudah bukan masanya. 

Dan aku hanya bisa bergumam, apa kabar layang-layang? 

Ternyata memang benar, salah satu penghambat kreativitas dan orisinalitas adalah karena terlalu mendengarkan / menanggapi / menelan mentah-mentah,...(atau apapun itu,) omongan orang lain tanpa memberi perhatian pada apa yang menjadi keyakinan kita. 

Maksudku begini lho, sebagai contoh ketika aku membuat sebuah karya typography, lalu ada beberapa orang yang boleh disebut "Pakar" yang (mungkin) tak suka atau (mungkin) mempunyai tujuan tertentu, lalu dia mengkritik habis-habisan karya typography-ku. Harusnya begini lah, begitu lah, kurang ini lah, kurang itu lah, keluar dari pakem lah, tak sesuai standard lah...bla bli blu blehh...! Sebagai seorang Start Up pastinya aku akan sangat merasa terjatuhkan dengan itu, dan akhirnya kehilangan gairah.

Lalu jika begitu apa yang akan kita dapatkan? Tidak ada! Beku! Jadi Pecundang? Bisa jadi.

Lalu apa yang harus dilakukan? Jangan tanyakan pertanyaan bodoh itu lagi! Kembalikan kreativitas pada prinsip aslinya yaitu "tak boleh berhenti," dan mencoba untuk cuek kembali.