Ketika kegundahan sedang melanda jiwa, keindahan makna lagu "Bila Waktu Telah Berakhir" dari Opick akan sukses membuat kedua mataku berkaca-kaca. Ketika kepenatan dunia meluluhlatakkan semangatku, alunan lirik lagu "Dust In The Wind" dari Kansas kerapkali sanggup membuatku merasa lebih tenang.

Konon katanya, perasaan seseorang akan sangat mudah tersentuh, salah satunya adalah ketika jiwanya sedang berada dalam kelabilan dan ketidakpastian. 

Hari ini, aku merasa biasa saja. Tak ada kegundahan apalagi kegalauan. Tapi, rasanya ada sesuatu yang telah memberi "cambukkan" pada diriku setelah aku membaca tulisan yang terkemas dengan sangat elegan di blog Mas Zachroni Sampurno. 

Mungkin saja akan ada yang menganggap ini terlalu berlebihan. Terserah!!! yang pasti tulisan itu telah memberiku pelajaran tentang pentingnya ketenangan dalam bersikap. Selama ini aku merasa terkadang masih belum bisa mengendalikan diri saat menghadapi suatu permasalahan. Emosi yang meletup-letup. Pertimbangan yang belum matang. Terlalu berambisi (?). Entahlah.

Ahh...ini hanya sebuah renungan malam saja. Aku sangat berterima kasih kepada sang penulis yang selalu tampak keren dimataku. *mendadak gombal*

Terima Kasih Mas Zach.

Atas musibah yang telah menimpa Mas Zach, aku turut berduka. Dan untuk Arien, semoga sukses dan pulang dengan selamat dari Singapura sana. Amin.

Seperti biasa dan akan dibiasakan, pada hari sabtu aku akan posting tulisan dalam bahasa sunda. Dan kali ini yang aku publish adalah artikel yang ditulis oleh Kakakku. Terima Kasih.

Sampurasun...ngiring nyimpen tulisan simkuring ah landong simpe.

Tadi pasisiang kuring ngawangkong sareng bapa-bapa duka urang mana di tukang tambal ban, bade ngagaleuh parab manuk saurna...nyana naros kieu : Kang naha nya lamun tiap bulan puasa teh urang mah sok asa leuwih riweuh neangan dunya (duit) tibatan 11 bulan nu katukang? apanan ceuk Gusti nu Maha Suci teh urang Islam dibere waktu anu super istimewa pikeun neangan amal hade, ibadah pikeun ke jaga diakherat...ngan sabulan! nyaeta bulan Romadon nu sagala amal urang dilipatgandakeun ku Gusti!..cing salah urang teh dimana? naha tradisi nu salila ieu geus ngagetih daging? atawa pipikiran urang anu geus ka cocokan ku kapitalis, hedonisme atawa perkara perkara anu geus di jeujeuhkeun ku kaum diluar kayakinan urang pikeun ngarungkadkeun atawa ngotoran Islam?....

(edass eta patarosan meni seukeut keuna kana manah.kuring ngahuleng bingung kudu ngajawab kumaha...)

Miris rasanya jika mendengar ada upah pekerja yang belum dibayar melewati batas waktu yang sudah seharusnya, bahkan hingga berbulan-bulan. Termasuk ketika aku mendengar curhatan seorang kawan yang berprofesi sebagai buruh bangunan. Upah yang seharusnya ia terima pada setiap minggu, malah tak kunjung dapat ia genggam. Katanya sih alasannya sepele, bos-nya sedang di luar kota.

Bagaimanapun, sebagai seseorang yang pernah menjadi karyawan, tentunya aku sangat bisa memahami bagaimana rasanya jika hak yang sudah waktunya aku terima malah tertahan di "brangkas" kantor. Terlebih bagi kawanku yang dikejar-kejar kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga kecilnya itu, apakah sang bos tidak berpikir sampai sana? Dalam hal ini, rasanya keterlaluan jika si bos menganggap mengulur waktu adalah sebuah kewajaran, karena yang namanya urusan perut mana bisa ditunda-tunda!

Ini menjadi satu pelajaran buatku. Terlepas dari berbagai kendala yang terjadi ditubuh internal pihak pengguna jasa para pekerja, tetap saja hak para pekerja tidak dapat dianggap sepele. 

Aku jadi teringat sepotong kalimat dari Uwa saat beliau memberiku wejangan beberapa tahun lalu, dan potongan kalimat ini benar-benar terpatri dipikiranku "Bayarlah upah orang yang membantumu menyelesaikan pekerjaanmu, sebelum keringat mereka mengering!"
Mungkin ini akan menjadi pertanyaan bodoh dariku. 

Seseorang yang aku kenal dan termasuk sangat aku hargai memohon bantuanku. Pastinya tanpa pikir panjang lagi aku langsung mengiyakan permohonan beliau tersebut. Dan tentu saja aku akan melakukanya dengan senang hati.

Bagaimanapun, dalam hal ini sama sekali aku tidak berharap apalagi berniat untuk mengharapkan balasan atas pertolongan yang sudah aku berikan. Ikhlas. Itu saja. 

Tapi, ketika aku selesai menunaikan tugas yang diberikan, beliau pun malah berusaha memberiku bayaran (berupa uang, tentunya). Sontak saja, secara halus aku berusaha untuk menolak pemberiannya tersebut. Karena niat awalku menerima permohonannya adalah ikhlas. Tanpa pamrih. Tapi beliau tetap saja memaksa.