Cerita Dari Sebungkus Nasi Goreng


Gambar: Arra
Sudah hampir pukul dua puluh tiga tiga puluh. Ugghh...sudah malam seperti ini perutku malah teriak-teriak minta diisi. Saya punya ide!!!, pergi ke dapur dan cari sesuatu yang mungkin bisa dimakan. Hmm...jika dibilang ide terasa berlebihan deh, karena semua orang juga tahu harus begitu hihihi...!!!. Ahh, ternyata hanya ada makanan sisa tadi siang. Lalu saya lihat stock makanan kecil di lemari rahasia, dan bagaikan Kota Tomioka, lemari rahasiaku pun bersih tak berpenghuni karena terkena dampak ledakan nafsu makan ku beberapa hari yang lalu (hallahh!!!).

Baiklah, saya harus bertahan hidup, dan saya putuskan untuk pergi membeli makanan di suatu tempat. Setelah saya mencari-cari sesuatu yang sanggup merangsang nafsu makan saya, didapatilah sebuah tenda sederhana yang menjual Nasi goreng, dan saya anggap itu adalah pahlawan penyelamat hidup saya :D.

Saya masuk kesana, dan terlihat seorang wanita setengah baya dengan wajah mengkilap dan lengan baju tangan panjangnya yang dilipat sebatas sikut, Ia terlihat begitu sibuk menggoreng nasi untuk dua orang pelanggannya yang sedang duduk menunggu diatas kursi pelastik tanpa sandaran. Melihat situasi seperti itu, saya tidak ingin terburu-buru mengatakan pesanan saya sampai ibu itu menyelesaikan tugasnya. Dan komentar untuk diri saya waktu itu adalah ‘...tumben?!’, karena biasanya begitu masuk, saya langsung menyerang sang penjual dengan semua pesanan saya hehe...!

Oke...ibu itu sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik, dan uang kembalian untuk sang pelanggan sudah diberikan dan menjadi tanda jika transaksi sudah selesai. Lantas sang Ibu pun langsung menyapa saya “mau pesan apa mas?”. “Saya pesan satu bungkus nasi goreng ampela Bu, yang pedas ya!” pinta saya. Dengan sigap Sang Ibu mulai melancarkan aksinya dan dengan sadis Ia mulai mencincang sayuran,  menyayat-nyayat potongan daging dan hal-hal mengerikan lainnya jika yang jadi objeknya adalah saya :D.

Sambil duduk menunggu, saya memperhatikan sosok Wanita yang sedang berusaha menyelesaikan pesanan saya itu. Saat itu saya berpikir, saya sedang memperhatikan sesosok Wanita yang hingga larut malam seperti ini masih berjuang menjalankan pekerjaannya. Ada keresahan dalam hati saya, kenapa Ibu ini tidak beristirahat saja dirumah dan menemani anak-anaknya tidur?.

Pikiran itu menggelitik saya untuk mengajak Sang Ibu bicara. “Ibu biasanya jualan disini sampai jam berapa?” tanya saya memulai pembicaraan. “Lha nda’ tentu Mas, terkadang kalau rame jam 11 juga udah pulang, kalau lagi sepi kayak sekarang terkadang sampai pukul 2 pagi!” Sang Ibu menjawab dengan logat jawanya yang sangat kental. “Wah malem banget ya bu?” tegas saya. “Lha bukan malem lagi Mas, tapi Pagi” sanggah Ibu. “Hehe...iya juga ya?!” dalam pikir saya sedikit malu. “Yahh Mas beginilah cara kami bertahan hidup, ini saya lakukan untuk membantu suami saya yang jualan ditempat lain, lumayan lah mas buat bantu-bantu, demi anak-anak juga Mas...” Ibu itu menambahkan ceritanya sambil sibuk menggoreng.

Menyerap cerita singkat Sang Ibu, saya mulai mengambil kesimpulan, inilah wanita tangguh. Dengan cara dan kemampuan yang dimilikinya, Ia tidak hanya berdiam diri saja menghadapi hidup yang bagi sebagian besar orang begitu keras dan kejam ini. Untuk memenuhi kebutuhannya Ia berani melawan ‘kewajaran’ nya sebagai seorang ibu dengan cara yang positif. Ia tidak harus mengeluh wajahnya takut berminyak, Ia tak harus khawatir kuku tangnnya patah, Ia takkan malu jika bola matanya tampak merah, Ia tak peduli jika keringat membuat punggungnya basah, karena ini semua tentang Seni Bertahan Hidup.

Saya sangat setuju dengan salahsatu ungkapan Pandji Pragiwaksono dalam Ebook-nya yaitu “If it’s yours, than it’s yours”, tapi itu juga harus disertai dengan aksi, karena jika tidak, kita akan jadi orang yang hanya bisa tenggelam dalam harapan dan akhirnya menjadi ‘manusia kalah’. Itu tentang pilihan Sob!. Dan Ibu itu adalah salahsatu pejuangnya.

“Silahkan Mas nasi gorengnya!” kata Sang Ibu sambil menyodorkan sebungkus Nasi goreng didalam kantong keresek hitam. Sontak itu menghentikan pikiran saya yang sedang melayang-layang hehe...!. Tak lupa membayar pesanan, saya pun langsung bergegas pulang untuk melenyapkan Nasi goreng ini dari bungkusnya ke lambung saya.

Saat itu, dengan bermodal rasa lapar, sedikit kemauan, beberapa tetes bensin, dan uang Rp. 9.000,-, saya mendapat sebungkus Nasi goreng dan segenggam ilmu yang menurut saya tidak ternilai. Ibu Penjual nasi goreng itu bukan hanya jadi pahlawan disaat saya kelaparan, tapi juga telah menjadi Pahlawan Inspirasi tulisan saya ini.

Ternyata ilmu itu tidak hanya bisa kita dapatkan dari tempat yang yang bersih, rapi, sarat teknologi dengan kaum intelek disekelilingnya, tapi juga bisa didapatkan di tempat yang dinilai biasa saja, asalkan kita mau untuk selalu membuka pikiran. Itu hanya ungkapan dari seorang bodoh seperti saya.

Cerita Saya dan Sahabat...






0 Comments:

Posting Komentar