Jangan Sampai Lupa "Nama" Sendiri

Gambar : twicsy.com
Sebelum menulis ini, aku sempat membaca tulisan keren dari mbak-mbak yang suaranya ngangenin banget, yaitu Mbak Dinie Haiti Zulfany dengan tulisannya yang berjudul "Perang Pemikiran, Ghazwul Fikri". Walau konteksnya berbeda, tapi aku merasa tulisan Mbak Dinie itu ada kaitannya dengan tema yang hendak aku angkat pada postinganku kali ini. Sebenarnya ini adalah salah satu tulisan dari Blog Urang Lembur yang aku tulis dalam versi bahasa Indonesia.  

Dalam tulisan ini aku masih membahas seputar bahasa daerah, khususnya bahasa sunda. Setelah memutuskan untuk membuat blog yang secara khusus aku isi dengan tulisan-tulisanku yang dikemas dalam bahasa sunda, aku baru benar-benar menyadari ternyata membuat tulisan dalam bahasa sunda itu tidak mudah. Jangankan nulis, baca tulisan majalah berbahasa sunda saja aku kayak yang lagi belajar baca, gak lancar seperti ketika aku membaca tulisan yang berbahasa Indonesia. Lho, aku kan asli berasal dari suku sunda, tapi kok nulis/membaca tulisan dalam bahasa sunda aja sampe kesulitan gitu? Hadohh.
#toyor pala sendiri

Alasannya tidak lain karena selama ini aku memang sangat jarang menulis dan membaca tulisan berbahasa sunda. Kosakata bahasa sunda ku juga masih sangat minim, hanya terbatas pada kosakata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari saja. Ketika membuat tulisan berbahasa sunda, terkadang aku masih harus bertanya sana-sini, "eh kalo bahasa sundanya kata ini apa yak? kalo bahasa sundanya kata itu apa yak?" dan kalau tidak ada tempat bertanya, aku langsung kongkalingkong sama Mang Gugel. 
#payah level 10

Tapi aku merasa mendapat pelajaran dari semua kekonyolanku itu, sekarang aku lebih memberi perhatian pada budaya lokal/budaya sunda. Padahal dulu aku sempat menjadi anak yang boleh dibilang agak anti terlibat dengan budaya daerah. Dulu, ketika ada teman yang ngajak nonton Pagelaran Wayang Golek yang kerap diselenggarakan di Lapang Upakarti Kabupaten Bandung, misalnya, aku selalu menampiknya. Ketika ada orang yang sedang mendengarkan lagu-lagu sunda, aku selalu ilfil karena menganggap lagu daerah itu kampungan. Rudy yang masih ababil itu memang sangat memalukan, terlena oleh pengaruh budaya-budaya asing yang "penuh kemilau" itu, sehingga menutup mata pada budayanya sendiri. 

Disini aku tidak berniat menggurui, menghakimi atau mempengaruhi siapapun juga, karena mencintai kebudayaan sendiri itu bukan karena pengaruh orang lain, semua itu harus berasal dari niat diri sendiri. Sampai sekarang tidak ada satupun orang yang mempengaruhiku untuk memberi perhatian pada budaya sunda. Ini murni karena keinginanku dalam rangka "ngamumule" atau turut serta dalam melestarikan budaya sunda, khususnya basa sunda, walaupun basa sunda yang aku pergunakan itu hanya terbatas pada basa sunda kerakyatan, yang  miskin sentuhan sastra penuh makna. Mungkin usahaku ini sama sekali tidak berpengaruh dalam pelestarian budaya sunda yang selama ini diupayakan oleh kaum Budayawan, tapi aku yakin suatu saat nanti tulisan-tulisanku itu akan menjadi pengingat akan kekayaan budaya berbahasa sunda, setidaknya untuk diriku sendiri.

Silahkan mempelajari dan menggunakan bahasa asing sampai jago banget, bahkan itu sangat dianjurkan, karena bahasa asing adalah salah satu "jembatan" menuju "dunia luar". Lihat saja para pembesar kita, Bung Karno itu jago banget bahasa asing, bahasa Inggris dan Belanda. Bung Hatta juga jago berbahasa asing. Justru karena bisa bahasa Belanda beliau bisa menyerang balik para penjajah dgn pledoi “Indonesia Vrij.” Bung Sjahrir berpidato di PBB dengan bahasa Inggris yang sangat apik, sehingga beliau  dijuluki “Bung kecil yang besar” karena kehebatannya berpidato. Tapi disisi lain, jangan sampai kita melupakan bahasa daerah sendiri, karena itu adalah salah satu bentuk usaha pelertarian budaya daerah. 

Jadi intinya, mengenal dan mengikuti budaya asing itu memang tidak salah, asalkan tidak sampai melupakan budaya sendiri, karena menurutku orang yang lupa akan akar budayanya sendiri itu ibarat orang yang lupa akan namanya sendiri, tidak memiliki identitas diri. Gak mau kan sampai lupa nama sendiri? 

51 komentar:

  1. kl saya lebih mencintai budaya saya sendiri,budaya negeri saya apalge..... :D
    salam kenal

    BalasHapus
  2. senada dengan istilah "ngeli ning ojo keli ~ mengikuti arus TAPI jangan sampai terbawa arus.."

    #great article

    BalasHapus
  3. saya kena nih dengan artikel ini. saya kadang lebih menyukai bawain Firehouse atau Bon Jovi ketimbang Slank apalagi Stinky.
    tapi bukannya saya nggak cinta sama produk asli lokal lho.. buktinya istri saya nggak bule koq.

    #ngeloyor sambil bersenandung

    BalasHapus
    Balasan
    1. #ngitar-ngiter banyak burung di atas kepala

      Hapus
    2. ketahuan kalo udah tua..dengerinya firehouse sama Lik Jovi

      Hapus
    3. Hihihh...aku gak ada maksud lho, Mas. :)

      Hapus
    4. apalagi saya...sepakat gak ada maksud :-)

      Hapus
    5. emang harus One Directions? tobaaaat

      Hapus
    6. yah minimal kan Cherrybelle


      -kemudianmuntah-

      Hapus
    7. ndah nanti disuruh makan naget

      Hapus
  4. wah info yang sangat bermanfaat sekali....
    makasih sharenya yaa....


    #KemudianLangsungDitendang :D

    BalasHapus
  5. awwwww ada link ke wordpress sayaaaa di siniiii... *kasih ketjap*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tumben gak "aaaaaaaaakk...aaaaaaaaak...aaaaaaaaak..."

      Hapus
  6. setuju banget sama kamu mas rudy.. apalagi ini temanya bahasa, tema yang menarik minat saya sebagai lulusan bahasa *uhuk*

    liat aja deh di kampung2, di sekadau ini misalnya, buanyak anak-anak yang gak diajarin bahasa daerah sini sama orang tua mereka.. padahal menurut saya, penting banget bagi anak-anak untuk tau dan paham mother language-nya their mother..

    mengajari generasi penerus dengan bahasa indonesia, atau bahasa asing, doesn't mean orang tua lantas mengabaikan pentingnya membiasakan anak mereka dengan bahasa daerah.. kayak saya di rumah, ibu bapak saya kalo ngobrol di rumah, di depan kami anak-anaknya, teteup pake bahasa melayu sintang (Sintang, tanah kelahiran bapak ibu saya, letaknya sebelah sana sekadau), dan kami bertiga, anakanaknya, paham apa yang mereka bicarakan, walaupun saya sampai sekarang gak bisa kalo disuruh ngomong bahasa sintang muehuheuhe..

    bukan karena gak diajarin, bukaaan.. hanya saja saya selaluuu memproduksi suara yg kaku kalo ngomong bahasa sintang :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komen op de deyy...

      Horaaayyy...aku suka komen panjang x lebar ayak ginih.

      Ya sudah, yang penting kan masih mengerti bahasa ibu ya, Mbak. :)

      Hapus
    2. kalo panjang dan lebarnya nggak seimbang, namanya trapesium

      Hapus
    3. trus bahasa bapaknya apa? kok yg dibahas cuma bahasa ibu? trus anak-anaknya bagaimana?

      #lugu

      Hapus
    4. Bahasa emang penuh dinamika, juga bisa menimbulkan salah paham. Nyebut tante aja orang bisa tersinggung, ngambek kaya anak kecil nda dibeliin permen.

      Tapi dari bahasa juga kadang timbul hal yang jenaka, lucu dan mengundang tawa. Kami dari perwakilan KangGuru Indonesia itu dari 6 propinsi. Syahril dari Makasar, Bowo Medan, Ririn Jakarta , Fadel Lombok, Keyko Semarang, Suryadi Madur, saya Pontianak. Bayangkan 7 orang ini ngumpul bareng pake Bahasa daerah masing masing. Rame

      Hapus
  7. sayah malah lama gak update blog yang bahasa jawa...

    BalasHapus
  8. bahasa daerah layak dilestarikan sebagai salah satu identitas bangsa, tetapi sepertinya pemerintah tidak mendukung hal ini, karena kedepannya dalam dunia pendidikan, muatan lokal tidak lagi dimasukkan ke dalam kurikulum, padahal bahasa daerah adalah salah satu muatan lokal...,
    bisa2 kita jadi lupa bahwa sebenarnya kita ini masih hidup di indonesia :-)

    BalasHapus
  9. ampun kang...modem saya ngaco wae udah beberapa hari ini...jadi rada hoream ah.
    salam sehat we nya'.

    BalasHapus
    Balasan
    1. beneran cius kang...

      sok atuh kang rudy urang babarengan mikabogoh budaya sunda teh, cing samet ayeuna urang biasakeun komentarna pake bahasa sunda bledagbledug ge' bae'lah penting mah ngeunaheun...hehehe

      Hapus
  10. sekarang udah sadar akan hebatnya budaya milik bangsa sendiri, khususnya bahasa daerah. saya yakin, suatu saat pasti keranjiingan yg namanya ndangdut. hahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. dangdut berbahasa daerah tepatnya.
      lebih tepat lagi penyanyi dangdutnya Mbak Indah

      Hapus
    2. goyang, mang.... asik..asik...

      Hapus
  11. ini critanya sobat mau buat blog yang berbahasa sunda gitu ya..? wah nggak kebayang nih kalu saya berkunjung ke blog berbahasa sunda, bisa cengar cengir saya..hehehehe

    saya orang jawa sobat, jadi kurang paham dengan bahsa sunda, tapi pengen bisa sih hehehe

    BalasHapus
  12. manteb mas, emang seharusnya kyak gtu, hargai dulu budaya bangsa, jgan sampai lupa...

    BalasHapus