NOVEL ROMANSA: Ternayata yang Terindah Itulah yang Terakhir


Karya: Annisya D.H.

Alya Sabila Fathiani, sebuah nama yang diberikan oleh orangtua pada 13 tahun yang lalu. 

Aku siswi kelas 8 di SMPN 15 Jakarta, aku anak terakhir dari 3 bersaudara, kakak ku yang pertama seorang pengusaha dia bernama Fadil. Dan kakak ku yang kedua masih kuliah di Perguruan Tinggi Jakarta dia bernama Melati. Orangtuaku bekerja di perusahan yang sama, namun Ibuku bertugas di Inggris dan Ayah bertugas di Amerika, dan mereka telah bercerai ketika aku masih kecil, aku ikut dengan Ibu dan kedua kakak ku ikut dengan Ayah. 

Ketika Ibu di luar negeri, aku merasa kesepian, karena aku hanya ditemani dengan pembantuku yaitu bi Unah, setiap malam aku bercurhat dengan bi Unah. Suatu malam aku bilang sama bi Unah, “Bi, aku kangen deh sama Ibu, kapan sih Ibu pulang?” kemudian bi Unah duduk disampingku dengan berkata, “Sabar ya, mungkin Ibu masih menyelesaikan pekerjaannya, dan jika Alya kengen sama Ibu gimana kalau kita telepon aja.” Aku berpikir sejenak dan berkata dalam hati namun aku terkejut saat bi Unah menepuk punggungku. “Alya ngelamunin apa? Jangan ngelamun gak baik”. “Oh tapi kalau kita telepon Ibu, memangnya Ibu mau angkat gitu? Dulu saja aku tepelon gak diangkat, di-SMS sama di-BBM juga gak dibales, mungkin Ibu sudah tidak perduli lagi sama kita” Kakakku merasa kesal. “Eh gak boleh bicara seperti itu, mungkin Ibu tidak angkat telepon kamu Ibu sibuk, dan apa salahnya kalau kita mencoba untuk menelepon Ibu” kata bi Unah seperti menghiburku. Aku pun mengikuti perkataan bi Unah, dan aku langsung mengambil Handphone yang ada di dekat lampu meja. 


Saat aku menyambungkan teleponnya, awalya Ibu tidak mengangkatnya tetapi setelah 3 kali aku mengulangnya, dan akhirnya Ibu mengangkatnya, “Assalamu’alaikum, Ibu apa kabar? Ibu Alya kangen Ibu, kapan Ibu pulang ke Indonesia?” kataku melepas rindu di dalam telepon dengan Ibu. “Waalaikum salam, baik, kamu dan bi Unah gimana kabarnya? Sama Ibu juga kangen sama Alya, sepertinya tahun sekarang Ibu tidak bisa pulang karena pekerjaan Ibu masih banyak” kata Ibu dengan yakin terhadap keputusannya. Kemudian ku menjawabnya lagi, “aku sama bi Unah baik-baik kok disini, Ibu baik-baik ya disana”. “Iya” jawab Ibu singkat. 

Baru saja ku menyimpan Handphone ke atas meja, dengan suara keras benda yang sudah menjadi sahabatku itu berbunyi lagi dan rupanya itu telepon dari kak Fadil. “Alya, Ayah sudah pulang karena Ayah sakit dan sekarang Ayah di RSU Jakarta, kakak harap kamu segera ke sini” Kak Fadis bicara seperti sedang panik. Dan aku menjawabnya dengan rasa deg-degan, “Apa? Ayah sakit? Baik, kak, malam ini juga aku akan pergi ke sana”. Lalu kak Fadil juga menjawabnya “Kakak jemput kamu saja ya, kamu kemas baju kamu”. “Baiklah sekarang aku siap-siap dulu ya, kak.”. “Kakak akan segera jemput kamu” kata kak Fadil dengan tergesa-gesa “Baiklah, kak, hati-hati di jalan” kataku sambil mengakhiri telepon. 
Lalu bi Unah menghampiriku dan berkata, “ada apa Alya? Yang telepon kak Fadil ya?”. “Iya yang telepon itu kak Fadil, dia mau menjemput kita dan kita harus segera berkemas karena Ayah sakit.” Bi Unah berkata, “Astagfirullah, ya sudah sebaiknya kita segera berkemas, mungkin sebentar lagi kak Fadil akan datang.” Tak lama dari kami berkemas suara klakson mobil di depan rumah pun berbunyi. “Bi, mungkin itu kak Fadil, cepat bi kita keluar” kataku terburu-buru mengajak bi Unah. 

Sesampainya di luar kak Fadil keluar dari mobil dan cepat menuntunku tanpa banyak berbicara, sesampainya di Rumah Sakit aku dibawa oleh kak Fadil ke ruang rawat Ayah, “Kenapa Ayah masih di IGD? Apa sakit Ayah sangat parah, dan aku rasa ruangan rawat tidak teralu penuh untuk orang yang tidak parah sakitnya, apa aku tanya saja kepada kak Fadil ya?” aku berkata dalam hati. Setibanya di ruang IGD aku terkejut dengan suara mesin detak jantung yang berbunyi. Aku pun langsung berlari ke arah Ayah, beruntung waktu itu Ayah sudah sadar, jadi aku bisa berbicara dengannya. “Ayah, Ayah sakit apa? Kenapa Ayah gak pernah kasih tau Alya kalau Ayah sudah pulang ke Indonesia, apa aasannya, Ayah?” aku bertanya dengan keheranan, namun sepertinya Ayah tidak ingin menjawab jika masih ada orang di dekat Ayah selain aku. Tanpa disuruh sepertinya kak Fadil, kak Melati, dan bi Unah sudah mengerti untuk keluar dari ruangan IGD, setelah semua keluar baru Ayah menjawab pertanyaanku. “Alya, Ayah sakit sudah dari dulu, namun Ayah tidak memberi tahu siapapun, dan alasan Ayah tidak kasih tahu, Ayah mengira kamu ikut dengan Ibu ke Inggris, Ayah sudah hampir 2 tahun di Indonesia” Ayah bicara begitu, aku menyesal bahwa semenjak Ayah dan Ibu pisah 5 tahun yang lalu aku tidak pernah menelepon atau ketemu dengan Ayah. “Ayah tidak perlu minta maaf, seharusnya Alya yang minta maaf, Alya tidak tahu bahwa Ayah terkena penyakit itu.” Jawabku dengan menangis. “mungkin ini sudah takdir Ayah, sekarang sudah terlanjur penyakitnya parah, cara satu-satunya operasi dan itu membutuhkan donor ginjalnya dan itu sangat susah” Ayah berkata seperti itu dengan pasrah. Aku semakin sedih dengan perkataan Ayah itu dan aku langsung memeluk Ayah dengan menangis. “Ayah tidak boleh seperti itu, Alya yakin Ayah pasti sembuh.” Ayah tersenyum kecil dan berkata. “Alya, Ayah minta tolong” Aku pun menjawab, “Ayah minta tolong apa? Alya pasti tolong Ayah” “Tolong suruh kakak-kakak kamu kedalam, dan kamu telepon Ibu kamu ya, suruh Ibu pulang Ayah ingin bicara sesuatu tapi tidak di telepon.” Kata Ayah. “Baik, Ayah” kataku. 

Aku keluar dari ruangan IGD dan menghampiri kak Fadil dan kak Melati. “Kak Fadil dan kak Melati disuruh Ayah masuk” tanpa memjawab mereka langsung pergi menemui Ayah. “Bibi temenin Alya ya, Alya disuruh Ayah telepon Ibu.” Aku membujuk bi Unah untuk tetap menemaniku. “Iya, silahkan Alya telepon Ibu, bibi tungguin kamu.” Kata bi Unah dengan sabar. “makasih, bi” jawabku, bi Unah hanya memberiku senyum. 

Saat disambungkan telepon ke ibu beruntung telepon nya langsung di angkat tidak seperti tadi sore.”Ibu maaf Alya telepon lagi,bu Aah sakit ginjal,sekarang di rawat di IGD RS JAKARTA,dan ayah ingin berbicara sama ibu tetapi bukan dari telepon.”Katakun meminta ibu .”Apa ayah kamu sakit?baik ibu akan segera pulang mungkin sampai di sana besok dini hari.”Kata ibu.”Terima kasih  ibu sudah mau meluangkan waktu nya untuk ayah”

Ibu berangkat dari inggris pukul 22.00 dan mungkin sampai di sini besok dini hari,sambil menunngu ibu aku pun tidak bisa tidur.Tetapi akhirnya aku mengantuk,”Bi, sekarang kita tidur dimana?katanya mau di hotel?”Kataku dengan mengantuk.”Kata kak Fadil tadi kita gak jadi nginep di hotel,jadi kita tidur di masjid rumah sakit ini saja ya.”Kata bi Unah.”Apa di masjid?kan banyak nyamuk?kalau banyak nyamuk nanti susah tidur,kalau gitu besok aku bisa kesiangan dong”Kata ku manja.Namun,kak Fadil mendengar pembicaraan ku dan dia agak memarahi ku,”Kamu tuh dalam saat begini masih sempat-sempat nya ya manja.”.”Maafin aku kak”Kataku.”Iya..oh ya ada satu lagi tadi kakak lupa,kalau besok kamu libur sekolahnya,soalnya kelas 9 nya ada ujian.”begitu kata kak fadiul,ku hanya membalas dengan senyuman.

Kebesokan harinya aku bangun pagi-pagi sekali karana terbangunkan oleh adzan shubuh yang berkumandang.Setelah aku dan bi Unah siap,kami pun kembali lagi ke ruang rawat ayah.Pada saat di sana ku dikejutkan dengan suara ibu dari kamar itu,setelah kedalam ternyata benar,itu adalah ibu,dan di sana juga ada kakak-kakak ku.

Dengan rasa rindu,akupun berlari dan memeluk ibu,”Ibu,Alya kangen sama ibu,syukurlah ibu sudah sampai dengan selamat.”Kata ku pada ibu.”Iya Alhamdulillah,gimana kamu udah sarapan belum?kalau belum ini ibu bawa in kamu nasi kotak!”Kata ibu sambil menyodorkan sekotak nasi pada ku.”Iya bu aku belum sarapan,ini nasinya aku makan ya bu”Kataku.

Setelah selesai makan,aku pun bertanya pada ibu,”Ibu sampai kapan di sini?apa ibu kesini untuk ayah?dan sampai kapan ayah di sini?”Tanyaku pada ibu.”Ibu di sini tidak lama kok,Cuma 2 hari, karena pekerjaan ibu masih banyak,kalau ibu kesini hanya untuk memenuhi panggilan ayah kamu saja,dan ibu ingin membawa kamu ke Inggris dan kamu akan sekolah disana,kalau ayah sampai dia mendapat donor ginjal nya dan operasi.”Kata ibu,dengan suara pelan nya karena takut kedengaran oleh kakak-kakak ku.”Jadi ibu kesini bukan untuk ayah?Bu itu hanya ajakan konyol bagi ku.”Kataku,namun aku terlalu keras berbicaranya,sehingga membangunkan ayah.”Alya jangan berisik dong”Kata ayah terbangunkan.”Maaf ayah”Kata ku singkat.

Tetapi Ayah tidak mendengar perkataanku, karena Ayah tidur kembali, kemudian Ibu mengajakku pergi ke suatu tempat untuk menyampaikan sesuatu, teranyata Ibu membawa ke sebuah taman Rumah Sakit itu, setelah sampai di taman aku dan Ibuku duduk di bangku taman tersebut.

Ibuku meneruskan pembicaraan yang tadi Ibuku berkata, “Itu bukan hal konyol, Alya, Ibu melakukan itu karena Ibu sayang kamu, Ibu gak mau, kamu tidak keurus.” Aku pun kaget mendengar hal itu, bukan saja kaget tetapi akupun sedih karena aku kira Ibu dengan Ayah akan menyatu lagi seperti dulu, tetapi dugaanku salah dan sangat tidak tepat, aku terdiam seribu bahasa dan tidak bisa menjawab obrolan Ibu, aku pun pergi kembali ke kamar rawat Ayah dan meninggalkan Ibu yang sedang duduk di bangku taman itu. 

Mungkin Ibu merasa aneh kepadaku, karena aku tidak menjawab obrolan Ibu dan langsung pergi begitu saja tanpa pamit ataupun apa. Aku pun mendengar Ibu berteriak memanggil aku “Alya...Alya...mau kemana kamu?” namun karena aku sedang marah, aku pun tidak menjawab melainkan pergi berlari, di tengah-tengah aku pun berpikir kalau aku kembali ke kamar Ayah pasti Ibu juga akan mencari Aku ke situ. Aku pun berpikir sejenak, akhirnya aku tahu aku harus kemana, seharusnya aku pergi saja ke Mesjid lagipula sebentar lagi shalat zuhur, karena di Mesjid itu bisa membuat diriku tenang. 

Sesampainya di Mesjid adzan zuhur pun berkumandang, aku pun pergi mengambil air wudhu dan masuk ke Mesjid untuk menunaikan ibadah shalat zuhur, dan aku baru ingat bahwa aku tidak bawa mukena, aku pun mau meminjam mukena yang ada di Mesjid itu, namun saat aku membuka lemari yang ada di sudut Mesjid itu ternyata tidak ada mukena yang tersisa, dan mungkin sudah habis dipinjam orang lain, saat ku berbalik aku terkejut karena ada seorang lelaki yang meminjamkan aku sepasang mukena. 


Setelah selesai shalat, aku mencari lelaki yang tadi ternyata dia ada di dekat tangga Mesjid itu, aku pun berlari mendekatinya dan mengembalikan mukena itu, “Ini mukenanya, terima kasih ya” kataku kepada lelaki itu.lelaki itupun menjawabnya, “Iya sama-sama. Oh iya nama kamu siapa? Perkenalkan namaku Tobi” rupanya lelaki itu pun ingin berkenalan denganku. “Namaku Alya” jawaban itu kuberikan kepada Tobi. “Oh Alya, kenapa kamu ada di lingkungan Rumah Sakit? Kamu sedang apa?” tanya Tobi kepadaku. “Ayah aku sakit, jadi aku disini sedang menengok Ayah, kamu sendiri disini sedang apa?” kataku kepada Tobi. “Aku disini sedang nungguin Ibu, Ibu sakit jadi aku sendiri yang nemenin” jawab Tobi. “Emang Ibu kamu sakit apa? Emang Bapak kamu gak nungguin Ibu kami gitu?” tanyaku penasaran. “Ibu hanya kecapean, soalnya Ibu kerjanya jualan kue, jadi Ibuku setiap hari keliling kampung  bahkan keliling desa yang sebegitu luasnya, Ibu keliling sambil berjalan kaki. Bapak ku sudah gak ada dari aku kecil, jadi aku Cuma berdua” jawabnya Tobi. “Astagfirullah maaf ya kalau aku jadi ngingetin kamu sama Bapak kamu. Emangnya kamu gak punya saudara gitu?” tanya aku lagi, “Enggak, aku gak punya saudara, aku anak tunggal” jawab Tobi. “Oh kamu yang sabar ya mengurus Ibu kamunya” kataku. “Iya kalau masalah mengurus insya Allah aku sabar, tapi kalau masalah biaya aku gak tahu harus cari uang buat bayar perawatan Ibu” Jawab Tobi. Aku pun berpikir sejenak, betapa berbaktinya Tobi terhadap Ibunya, walaupun mereka hidup dalam keadaan serba pas-pasan, sedangkan keluarga aku walaupun hidup berkecukupan tetapi pernah berkumpul dengan baik, sekalipun berkumpul itu pada saat keadaan seperti ini. “Alya boleh gak aku nanya?” kata Tobi, “Memangnya mau tanya apa?” jawab aku, “Emangnya Ayah kamu sakit apa gitu?” tanya Tobi kepadaku, “Ayah aku sakit gagal ginjal dan harus operasi” jawabku. “Oh, tapi kenapa Ayah kamu belum juga operasi? Kan Ayah kamu orang kaya, jadi segalanya akan cepat didapatkan denga uang” kata Tobi denga polos. “Belum dapat donor ginjalnya” jawabku singkat. 

Berlama-lama ku berbincang dengan Tobi, tiba-tiba ada suara teriakan yang memanggil aku “Alya...Alya...” seperti kumengenal suara itu, “Al, kayaknya dia menggil kamu deh, apa kamu tahu orang itu?” tanya Tobi, “Kayaknya dia kak Melati deh” jawabku, “kak Melati itu siapa?” kata Tobi, “Dia kakak ku yang kedua” jawabku. Saat ku berbalik ternyata benar itu adalah kak Melati, “Tob, kayaknya aku pergi dulu ya, maafin nih aku ninggalin kamu disini” kataku pada Tobi, “Ya, gak kenapa-napa kok, Al” jawab Tobi. Kemudian ku berjalan menuju kak Melati. “Dek, kamu dicariin dari tadi, kemana aja sih?” tanya kakak, “Aku tadi habis dari Mesjid, kak, Cuma tadi aku ngobrol dulu sama Tobi” jawabku. 

Kemudian kakak membawaku ke tempat parkir, dan disana ternyata ada Ibu yang memegang tas bajuku dan tas baju Ibu sendiri, “Mau kemana, Bu?” tanyaku pada Ibu, “Alya lebih baik kita pulang saja, lagipula besok kamu harus sekolah, dan Ibu takut kalau kelamaan disini nanti kamu ikutan sakit” kata Ibu penuh kekhawatiran. “Ya sudah aku nurut sama Ibu saja, baiklah aku akan pulang, tapi siapa yang jagain Ayah, Bu?” kataku. “Kamu jangan khawatir, Dek, kakak sama kak Fadil yang akan jagain Ayah, kalau kamu mau jenguk Ayah sepulang sekolah saja!” jawab kak Melati dengan penuh senyuman. “Ya udah ayo kita cepet pulang, pak Mhmud sama bi Unah sudah nungguin kita dari tadi” ajak Ibu. “Iya, Bu, ayo, yaudah kak aku pulang dulu ya” jawabku. “Iya dek” kata kak Melati. 

Sesampainya di rumah aku pun langsung ke kamarku yang ada di lantai 2, di kamar, aku langsung tiduran melepas rasa lelah yang kudapat dari rumah sakit, ku teringat pada sebuah buku di laci ku yaitu sebuah buku diari berwarna merah muda, ku ingin menulis sesuatu di dalamnya, ku ambil pulpen diatas laci itu ku goreskan tulisan di dalamnya

“Sang penyemangat, makasih ya Allah, aku telah dipertemukan dengan orang yang sangat hebat. Walaupun dia hidup dalam serba kekurangan dia tatp sabar, tabah, dan memanfaatkan kebersamaan itu walaupun hanya dengan Ibu tersayangnya, betapa banyak kasih sayang dari keluarga Tobi yang aku irikan, aku iri karena keluargaku sepertinya tidak akan bersatu seperti dulu lagi” 
Itulah sedikit dari yang kutulis kemudian ku dikejutkan dengan teriakan Ibu, “Alya, cepat turun nak, kita makan malam dulu!” Begitulah kata Ibu. “Iya, Bu, sebentar, aku akan ke bawah sekarang, Bu.” Jawabku. 

Sesampainya di bawah ku melihat banyak makanan yang tersedia di meja. Tetapi aku tak melihat Ibu disana, disana hanya ada bi Unah seorang, “Ibu mana sih, Bi? Katanya mau makan bareng tadi” tanyaku pada bi Unah. “Kalau Ibu...tadi ke atas, kayaknya ke kamar kamu deh” jawab bi Unah. Aku terkejur dengan jawaban bi Unah, “Astagfirullah, kan diari aku belum ku simpan, jangan-jangan Ibu membacanya” pikirku dalam hati. Bi Unah menepuk punggungku sambil berkata “Jangan ngelamun aja Alya, gak baik tau”. “Bi, aku ke kamar dulu ya sebentar” kataku sambil berlari. “Hey, makan dulu, Alya!” teriak bi Unah namun aku tak menghiraukan itu. 

Kemudian aku berlari ke kamar dan ternyata dugaanku benar, Ibu sedang membaca diariku. Awalnya Ibu tidak tahu tentang keberadaanku di pintu kamar, ku melihat Ibu menangis saat membaca diariku. Ku ingin bertanya pada Ibu, namuan akau malu, karena sama saja aku yang membuat Ibu menangis. Ku ingin berlari beberapa langkah dan memeluk Ibu, namun sepertinya aku tidak bisa melakukan itu. Kemudian aku kembali lagi ke meja makan di lantai bawah, saat ku berjalan beberapa langkah, ku disialkan oleh sebuah vas bunga yang ada di depan kamarku, kemudian Ibu tahu bahwa ada aku disitu. Ibu emmanggilku “Alya, ada apan nak?” tanya Ibu dengan terbata-bata. “Ibu, maafin Alya ya, Bu, Ibu nangis karena Alya, sekali lagi Alya minta maaf ya, Bu.” Kataku menangis dengan memohon maaf. “Ibu menangis bukan karena diari yang kamu buat, Ibu menangis karena Ibu sadar dengan kesalahan Ibu sendiri, kalau Ibu boleh tahu, emangnya motivator yang kamu tulis itu siapa?” kata Ibu sambil tersenyum. “Dia adalah Tobi, Bu, Tobi yang meminjamkan mukena Ibunya pada tadi waktu shalat dzuhur” jawabku kepada ibu. “Oh jadi Ibunya yang sakit? Ibunya sakit apa?” tanya Ibu. “Iya bu, kata Tobi sih Ibunya Cuma kecapean, tapi aku kasihan deh sama Tobi, dia gak punya biaya buat bayar Rumah Sakitnya, gimana bu, Ibu bisa bantu pinjemin uang gitu, Bu...soalnya dianya juga udah baik banget sama aku” bujukku pada Ibu. “Insya Allah Ibu akan bayarin biaya Rmah Sakit Ibunya Tobi, besok kita ke Runah Sakit ya, tapi sepulang sekolah kamu aja ya” jawab Ibu. “Iya Bu, makasih ya, Bu” kataku sambil memeluk Ibu. “Iya sama-sama, Nak, yaudah kita makan yuk, udah malem, nanti kamu cepat tidur biar besok gak kesiangan” mengajakku, sambil menuntunku menuju lantai bawah. Setelah selesai makan aku pun kembali ke kamar tercinta dan cuci kaki dulu biar gak digigit semut, kemudian aku menarik selimut dan tertidur pulas. 

Pukul 05.00 dini hari pun alarm berbunyi membangunkanku, kemudian ku bergegas untuk mandi kemudian shalat subuh. Setelah itu aku siap-siap dan langsung pergi diantar oleh pak Mahmud. Pukul 14.00 aku pulang sekolah, di rumah Ibu sudah siap-siap untuk pergi ke Rumah Sakit, setelah semua siap kami pun langsung bergegas. Di tengah perjalanan Ibu pun bicara kepadaku “Alya, tadi Fadil menelepon Ibu, katanya sih sore ini juga Ayah akan dioperasi!” kata Ibu. Yang bener, Bu? Emannya Ayah udah dapet donor ginjalnya?” jawabku dengan senang hati. “Iya, Ayah kamu udah dapet donornya, tapi kalau misalnya dari siapa, Ibu juga gak tahu dapetnya dari mana.” Jawab Ibu. Tak terasa ku telah tiba di Rumah Sakit, saat ku masuk aku melewati ruang operasi, ternyata disana ada kak Melati yang menghampiri aku dan Ibu yang sedang berjalan. “Kakak kok ada disini? Lagi ngapain sih? Kelihatannya itu kak Fadil ya? Sama siapa dia?” Tanyaku keheranan. “Alya, do’ain Ayah ya, Ayah lagi dioperasi, Ayah dapet donor ginjal daro Tobi, dan itu Ibunya Tobi, Tobi terpaksa ngelakuin ini supaya Ibunya bisa sembuh, tapi Insya Allah nyawa Tobi gak akan hilang kok, kata dokternya tadi soalnya hanya sebelah aja” kata kak Melati. “Tobi donorkan sebelah ginjalnya? Subhanallah beruntung aku mengenal Tobi yang baik hati, Tobi bagaikan pahlawan bagiku” ku menangis bahagia. “Iya” jawab kak Melati singkat. 

Setelah menunggu kurang lebih 30 menit, akhirnya ada seorang dokter yang keluar dari ruangan itu, kak Fadil pun menghampiri sang dokter, dokter itu pun berbicara “Operasinya berjalan dengan lancar, dan semuanya selamat, sebentar lagi pak Haikal akan dipindahkan ke ruangan” kata dokter. “Alhamdulillah” kata kak Fadil. “Kalau begitu saya pamit dulu ya” kata dokter. “Iya, dok” kata kak Fadil. 
Sekitar dua jam akhirnya Ayahku dipindahkan ke ruangan, dan Tobi pun sudah sadar, aku pun mendekati Tobi, karena Tobi pun satu ruangan denga Ayah. “Tob, makasih ya kamu udah nyelamatin nyawa Ayahku” ucapku pada Tobi. “Iya sama-sama, aku melakukan ini juga karena ingin membalas kebaikan Ayah kamu, Ayah kamu udah nyelamatin Ibu aku” jawab Tobi dengan rendah hati. “Sudah Tob, kamu jangan dulu banyak bicara, istirahat dulu ya” ucapku pada Tobi. Tobi hanya membalasnya dengan senyuman manis. Kemudian ku menghampiri ayah pula, “Ayah, sekarang Ayah harus jaga kesehatan ya...Alya gak mau lihat Ayah sakit lagi...” ku berkata pada Ayah. “Iya, Insya Allah Ayah akan menjaga kesehatan. Kata Ayah tersenyum. 

Satu bulan kemudian Ayah diijinkan untuk pulang, karena keondisinya semakin membaik, Ayah pun pulang ke rumahnya bersama kak Fadil dan kak Melati, aku pun pulang ke rumah Ibu hanya berdua. Satu minggu kemudian Ibu bilang padaku, “Nak, sepertinya Ibu harus kerja lagi deh, Ibu harus pergi lagi ke Inggris”. “Apa, Bu? Inu aku minta Ibu jangan ke Inggris, aku gak mau Ibu pergi lagi...” jawabku sambil emmohon pada Ibu. “Gak bisa dong, Ibu harus kerja” respon Ibu. Bu aku mohon, ini permintaan terakhirku, Bu” kataku. “Tidak, besok Ibu akan tetap pergi” jawab Ibu. “Ya sudah, Bu, iya” kalimat singkat dilontarkan dari mulutku. 

Keesokan harinya Ibu pun berangkat ke Bandara, dan aku pun pergi ke sekolah. Waktu istirahat pertama aku mendapat telepon dari Ibu, bahwa Ibu sudah sampai di Inggris. Setelah ku menutup telepon ada seorang sahabatku bernama Lili yang mengajakku ke kantin, namun di perjalanan menuju kantin, kepalaku terasa pusing seperti mau pingsan, aku pun berpegangan pada Lili, “Alya, kamu kenapa? Wajah kamu sangat pucat hidung kamu berdarah, kita ke UKS aja ya!” ajak Lili. Namun aku tak bisa menjawabnya karena makin lama aku pun makin pusing. 
Saat ku membuka mata aku melihat ada tiga orang sahabatku yaitu Lili, Sisi, dan Farah, ternyata mereka lah yang membawaku ke UKS. setelah agak lama aku pun dibawa pulang untuk istirahat oleh salah satu guru. Sesampainya di rumah bi Unah terkejut ketika melihat wajahku yang sangat pucat. Bi Unah pun segera memanggil pak Mahmud. Setelah pak Mahmud ada aku pun segera dibawa ke Rumah Sakit. Ketika ditengah perjalanan aku baru sadar kalau aku mau dibawa ke Rumah Sakit, “Bi, aku gak mau ke Rumah Sakit” kataku lemas. “Gak apa-apa kok, kita Cuma beli obat saja ya” bujuk bi Unah. 

Ternyata bu Unah bohong, aku dimasukan ke ruang rawat dan diperiksa, ternyata dokter mengatakan aku terkena penyakit ganas yaitu kanker darah stadium 4. Medis mengatakan bahwa umurku hanya tinggal seminggu lagi. Tetapi hal itu tidak membuatku putus asa, ku ingin sembuh seperti semula, ku melihat bi Unah menelepon Ibu dan Ayah untuk berkumpul disini. “Yang sabar ya, Ibu kamu bilang dia akan kembali lagi kesini dan jenguk kamu, begitu pun kata Ayah kamu, katanya dia akan segera kesini dengan kakak-kakakmu” kata bi Unah. “Iya bi, aku sabar kok” jawabku dengan rasa lemas. “Bi, tolong ambilkan buku diariku, aku ngin yang menulis ini untuk yang terakhir kalinya” permintaanku ke bi Unah. Dan bu Unah pun langsung memberikan itu. 

“Dear Ibu, Ayah...
Ibu, mungkin Alya berbakti sama Ibu sampai disini saja ya. Ayah, Alya temenin Ayah juga sampai disini aja ya, satu permintaan terakhir Alya yaitu Ibu dan Ayah harus bersatu lagi seperti dulu...
Jadikan pertemuan terakhir ini untuk yang terindah dalam hidup Alya ini...Alya harus pergi, Bu, Yah. Jaga diri kaliang baik-baik...:’)

Ku tak mempu memegangnya lagi, sampai akhirnya benda itu jatuh, saat-saat terakhir, Ibu, Ayah dan yang lain pun ada. Saat mereka ada, bi Unah pun memberikan selembar kertas yang kutulis tadi. 

Kelihatannya Ibu dan Ayah membancanya, kemudian Ayah memegang tanganku, “Ayah akan turuti permintaan kamu, Sayang. Ayah janji Ayah akan kembali bersama Ibumu” kata Ayah sambil menangis, kemudian Ibu pun menyetujui. “Terima kasih Ayah, Ibu, Alya harus pergi dan permintaan terakhir ini yang terindah bagi Alya.”

Dunia seakan gelap, mataku tertutup untuk selamanya. 


0 Comments:

Posting Komentar