Tampilkan postingan dengan label Farming. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Farming. Tampilkan semua postingan


Jahe, atau dengan nama ilmiah Zingiber officinale adalah jenis tanaman rimpang yang masih terkait erat dengan Lengkuas, Kunyit, Kapulaga dan tanaman rimpang lainnya. Tanaman ini sangat berguna bagi kehidupan manusia, biasa dimanfaatkan sebagai bahan untuk obat-obatan, bumbu masakan, bahkan minuman. Bagian yang biasa dimanfaatkan dari tanaman ini adalah bagian rimpang atau umbinya. Cara pengolahan tanaman Jahe ini juga bermacam-macam, bisa dikonsumsi dalam keadaan segar, diolah dengan dikeringkan, dibuat tepung/serbuk, diambil minyaknya atau bahakan dibuat jus. 

Salah satu faktor tanaman pertanian menghasilkan hasil panen yang memuaskan adalah Pemupukan. Dan tentu saja kadar pemberian pupuk pada setiap jenis tanaman akan berbeda, berikut adalah tabel aturan pemberian pupuk yang seimbang yang dilansir dari buku 'Pranata Mangsa Konci Tatanen' karya Ir. Suherman (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kota Bogor).

Sebagai orang yang baru menekuni kegiatan bertani, banyak sekali tantangan dan kegagalan yang saya alami, mulai dari bagaiaman cara menyiapkan lahan yang baik, semai benih, proses penanaman, proses pemupukan, pengendalian hama, dan masih banyak lagi. Namun, kegagalan-kegagalan tersebut saya nikmati karena saya percaya itu merupakan proses belajar menuju keberhasilan. 

Seperti yang saya alami dalam proses menanam Jahe. Ini merupakan pengalaman pertama saya menekuni budidaya Jahe. Banyak sekali kendala-kendala yang saya hadapi, ini akibat ilmu saya yang masih sangat terbatas, hanya modal nekat. Dari mulai metode mempersiapkan lahan, saya mencangkul untuk menggemburkan tanah lalu saya beri pupuk kandang, lalu besoknya langsung saya tanami bibit rimpang jahe, padahal tanah yang baru diolah dan dicampur pupuk kandang harusnya didiamkan terlebih dahulu selama minimal 2 minggu, alhasil bibit rimpang jahe saya banyak yang busuk karena panas dan jamur. 

Saat yang paling menyenangkan dari kegiatan bercocok tanam adalah ketika waktu panen tiba. Itu juga yang kami rasakan ketika sudah tiba saatnya memanen sayuran yang 36 hari lalu kami semai pada Budikdamber. Kangkung, itu jenis sayuran yang kami pilih untuk mendampingi budidaya lele dalam ember. Sebenarnya sayuran kangkung sudah bisa dipanen saat usianya mencapai 28 hari terhitung sejak penyemaian, namun karena kesibukan, saya baru sempat memanennya saat usia kangkung sudah mencapai 36 hari.

Untuk teknik pemanenan saya hanya memotong batang dari kangkung, membiarkan pangkal kangkung tetap berada di dalam gelas, untuk dibiarkan agar tumbuh kembali tunas. Kangkung termasuk sayuran yang mudah dibudidayakan, hanya dengam menyetek batangnya saja sudah bisa tumbuh dengan cepat. Jadi jika kita menanam kangkung dari semayan biji benih, untuk masa tanam selanjutnya setelah panen, kita cukup menggunakan batang pohon kangkung, caranya dengan memotong batang kangkung dengan menyisakan 3-4 bakal tunas, satu bakal tunas paling bawah berada di dalam media tanam, sisa bakal tunas berada di atas sebagai bakal tunas baru.

Memiliki keinginan memanfaatkan barang bekas dan sampah di sekitar membuat saya terus berpikir untuk mencari kreasi baru, di sisi lain minat saya dalam bercocok tanam membawa saya pada sebuah ide yang sederhana namun dapat menggabungkan keinginan dan minat saya tersebut. Berawal dari pemanfaatan plastik bekas minuman gelas yang saya manfaatkan untuk media tanam kangkung pada Budikdamber beberapa waktu lalu, saya mulai berpikir untuk membuat kreasi selanjutnya dengan konsep Hydroganics Floating Farm, yaitu menanam Kangkung pada wadah gelas plastik bekas yang ditanam secara terapung di atas kolam ikan lele di depan rumah. 

Terinspirasi dari Floating Dairy Farm-nya Peter dan Minke van Wingerden di Rotterdam, Belanda, saya ingin membuat pertanian terapung namun dengan konten tanaman atau sayuran. Namun, dalam hal ini saya masih dalam tahap percobaan pada skala rumah tangga, menggunakan cara-cara sendiri dalam proses pembuatan media tanam hingga proses penyemaian, lalu saya akan melakukan evaluasi untuk mendapatkan cara terbaik untuk mendapatkan hasil yang maksimal, tentunya untuk saya terapkan pada skala yang lebih besar kelak. 

Pernah, gak, sih merasa jenuh dengan segala rupa kepenatan kota? Lalu ingin liburan ke suatu tempat yang tenang dengan segala keasrian alam? Ya, itulah yang duulu saya rasakan. Memiliki hobi berkebun tak pernah terlintas dalam benak saya sebelumnya, jangankan berkebun, menginjakkan kaki di tanah tanpa alas kaki saja rasanya sudah risih. 

Namun, seiring berjalannya waktu, bertambahnya pengalaman dan perubahan lingkungan, pola pikir dan minat seseorang dapat berubah, bahkan hingga 180 derajat. Seperti yang saya alami, disebabkan oleh rasa jenuh dengan suasana perkotaan yang sungguh membuat penat, membuat saya memiliki ketertarikan khusus dengan suasana alam, dan akhirnya sering melakukan perjalanan ke tempat dengan suasana alami, seperti hutan.

Semakin jatuh cinta dengan alam, menumbuhkan minat saya pada tumbuhan, saya mulai jatuh cinta pada tumbuhan dan merasa lebih tenang jika dapat melihat berbagai macam tumbuhan secara langsung. Akhirnya saya mulai mengenal konsep Urban Farming yang pernah saya ceritakan disini

Tinggal di perkotaan dengan iklim yang panas, tanah yang gersang, udara yang penuh polusi, membuat kita mudah penat dan stress. Bangunan-bangunan yang saling berdekatan bahkan saling menempel satu sama lain, membuat ruang hijau menjadi sulit ditemukan. Oleh karena itu, masyarakat perkotaan harus pintar-pintar memanfaatkan lahan yang ada di sekitarnya, walau itu sempit sekalipun. 
Tanaman dan suasana hijau merupakan antidepresan yang ampuh, berada di sekitar tanaman atau bahkan hanya memandangi tanaman saja rasanya sudah sangat menenangkan, terlebih jika bisa 'bercengkrama' dengan tanaman, menanamnya, menyiramnya atau bahkan dapat memetik hasilnya, merupakan obat yang sangat ampuh menghilangkan kepenatan. 
Oleh karena itu, hingga kini konsep Urban Farming masih menjadi hal yang disenangi di kalangan masyarakat perkotaan. Dengan memanfaatkan lahan sempit di belakang atau di halaman rumah, sudah bisa mengunjungi 'tempat wisata' gratis di rumah sendiri. 
Seperti yang saya lakukan, ketika awal menempati rumah ini, halaman begitu gersang, panas dan penat. Satu-satunya cara untuk mengubah suasana halaman rumah yang sangat tidak menyenangkan tersebut adalah membuat sebuah taman mungil di halaman. Namun setelah dipertimbangkan kembali, rasanya taman saja tidak cukup, setidaknya halaman rumah harus bisa menghasilkan sesuatu yang bisa dikonsumsi. Ya! Urban Farming solusinya.