Tampilkan postingan dengan label Sekitar Kita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sekitar Kita. Tampilkan semua postingan
Hari ini kegiatanku berjalan seperti biasa, tapi entah kenapa kok rasanya badan ini terasa lelah benget. Hampir tak ada semangat. Mungkin karena bebrapa hari ini aku harus menyelesaikan bebrapa tugasku hingga dini hari. Jadi kondisi tubuhku pun menurun.

Ah mungkin itu hanya alasanku saja. Sebenarnya sih aku tak ingin banyak alasan, karena alasan juga  butuh pembuktian. 

Semenjak beberpa waktu lalu, aku berkomitmen pada diriku sendiri untuk menulis disini setiap hari. Apapun itu. Namun ternyata aku belum sanggup untuk menunaikannya. Harus terus diasah dan terus belajar, itu sudah pasti. 

Namun terlepas dari semua itu, aku juga sadar, terkadang obsesi tak sejalan dengan kondisi fisik. Saat keinginan menulis lagi naik, fisik malah terkapar. Ketika badan lagi ngejreng, eeeehh malah ogah-ogahan nulis he he he

Ah sudahlah, bagaimanapun sebagai manusia biasa yang tidak istimewa, pasti aku juga akan dibatasi kemampuan. Dan sekarang sudah larut malam, aku harus menunaikan hak dari tubuhku ini untuk diistirahatkan. Selamat malam. 


Sudah ada beberapa orang yang setiap kali mengirimkan pesan singkat kepadaku, mereka selalu menuliskan kata "Ass..." pada awal tulisan pesan yang mereka kirim. Terus terang saja aku suka jadi pervert ketika menerima SMS dari mereka. Duh!

Sebenarnya aku mengerti bahwa maksud mereka itu adalah mengucap salam, hanya saja disingkat, dari kata "Assalamu'alaikum" menjadi "Ass..." Tapi bagaimanapun dalam lubuk hatiku yang paling dalam (halahh...,) aku tetap tidak bisa menerimanya. Untuk yang sedikit banyak mengerti bahasa inggris pasti tahu apa arti dari kata "ASS" itu. Rasanya jadi kurang sopan gitu deh he he.

Ada lagi beberapa temanku yang suka menuliskan salamnya hanya dengan kata "Mikum...," padahal apa susahnya sih menuliskan salam dengan lengkap, "Assamalu'alaikum" gitu? Apa saat mereka menulis SMS itu lagi dikejar Guguk? atau mungkin lagi kebelet pipis? sehingga terburu-buru, sampe nulis salam aja harus disingkat-singkat kayak gitu hi hi hi.

Makanya, kalo aku sih selalu berusaha ketika menuliskan apapun, apalagi di ruang publik seperti media sosial, selalu dengan kata-kata yang tertulis lengkap. Kecuali di twitter kali ya, soalnya di twitter julmah karakter tulisan kita kan dibatasi, hanya 140 karakter saja, jadi aku sering menyingkat beberapa kata dalam tulisanku disana, untuk menghemat karakter. Hanya saja harus aku akui, kelemahanku dalam menulis adalah seringnya aku melakukan tindakan  typo (kesalahan dalam penulisan) he he. Mohon dimaafkan ya!

Jadi pada intinya, alangkah baiknya jika kita menuliskan kata-kata dengan ejaan lengkap, apalagi bila situasinya sangat memungkinkan, terlebih lagi jika kata-kata itu menyangkut tata krama atau agama. Tujuannya untuk menghindari kesalahpahaman seperti yang aku alami pada kejadian diatas. Itu saja.

Alhamdulillah, sampai usiaku saat ini aku masih bisa melihat kedua Orangtuaku dalam keadaan sehat wal'afiat, tentu saja itu adalah suatu hal yang benar-benar harus aku syukuri, karena bila memperhatikan sekitar, beberapa temanku justru sudah tidak bisa bertemu dengan Orangtuanya, karena Orangtua mereka sudah meninggal dunia.

Tapi ada satu hal yang baru aku sadari. Saat masih kecil, kita cenderung tidak ingin berpisah dari Orangtua. Saat terbangun dari tidur, yang kita cari pasti Orangtua, saat mau makan pun begitu, bahkan saat mau pipis pun kita akan memanggil mereka. Tapi ketika semakin kita tumbuh dewasa, maka akan timbul keinginan untuk menjauh dari Orangtua, dengan alasan "kemandirian" (walaupun aku yakin tidak semua orang begitu.) 

Saat menginjak remaja, kita sudah mulai tak menghiraukan petuah Orangtua, karena (mungkin) tak ingin terlalu diawasi. Saat sudah mempunyai penghasilan sendiri, maka semakin besar keinginan untuk lebih "menjauh" dari Orangtua, punya rumah sendiri, kehidupan sendiri, aturan sendiri, dan yang lainnya pasti anda tahu sendiri hi hi hi. Aku pikir itu memang sesuatu yang wajar, karna ya itu tadi, karena memang alasan ingin mandiri.

Tapi kepikiran gak sih? semakin kita dewasa maka waktu kita untuk melihat Orangtua kita juga semakin berkurang. Kita semakin tua, apalagi Orangtua kita. Disini aku berbicara soal ajal. Tak ada yang bisa menebak masa depan dengan pasti, entah siapa yang terlebih dahulu dipanggil oleh-Nya. 

Nah, dari situ aku berpikir, mengapa aku harus mempunyai pikiran untuk semakin "menjauh" dari Orangtua, sedangkan  kesempatanku untuk bisa melihat / bersama mereka di dunia akan terus berkurang?

Hmm...?

Heii...lihat anak-anak kecil yang sedang berlarian itu, dengan telanjang kaki dan masing-masing membawa sebatang pohon Singkong mereka mengejar sebuah layang-layang putus. Layang-layang itu memang tak terlalu besar, jelek pulak, kertasnya saja sudah bolong, tapi itu tak menyurutkan semangat mereka untuk berlomba-lomba mendapatkan layang-layang tersebut, tentunya sambil berteriak-teriak dengan suara cempreng yang bisa membuat sakit gendang telinga “...awaaass, ku aiing!!! Awaaaass...beunang ku aiiiing!!!”

Akhirnya salah seorang dari mereka pun mendapatkan layang-layang itu. Kakinya yang terluka karena berlari di tanah sawah yang kering tanpa alas kaki pun seakan sudah dianggapnya  terbayar lunas dengan pencapaiannya itu. Luka ditangan karena tersayat gelasan (tali/benang layangan) pun tak ia pedulikan. Yang ada dipikirannya adalah "aku harus segera menerbangkan layangan ini, dan ngadu lagi!!!"

Dengan pasti ia menantang angin agar bertiup lebih kencang "kiuk...kiuk...kiuuuuuuukk!!!" serunya, memanggil angin. Jidatnya yang kian legam seakan menjadi bagian yang berada di garis depan dalam  melawan ganasnya terik Matahari. 

Layang-layang pun kini telah terbang, benang kian diulur untuk mencari lawan. Yapp...penantang pun datang, benang sudah saling mengait, adu strategi tarik ulur berlangsung seru dan tanpa ampun. Dan..."Yaaah...putuus." Dia kalah.

Ya, layang-layang yang dia dapatkan dengan susah payah tadi kini sudah lenyap dari genggaman. Diiringi suasana redup senja, dia dan merekapun berjalan beriringan untuk pulang, tentunya dengan rasa bahagia tanpa penyesalan. 

Sayangnya, semua kejadian itu hanya terjadi dalam kenanganku saja. Kenangan yang aku layangkan saat aku termangu di jalan setapak tengah sawah yang menjadi tempat menerbangkan layang-layangku dulu. Kini, tak terlihat lagi anak kecil yang berlarian mengejar layang-layang. Kini, tak terdengar lagi teriakan anak kecil yang berdebat memperebutkan sebuah layang-layang. Haaaaahhh...rasanya aku rindu dengan suasana itu.

Angin terasa semakin dingin, suasana semakin remang, puji-pujian mulai berkumandang, seakan memintaku untuk keluar dari kenangan. Ya sudah, semua sudah tak sama, mungkin memang sudah bukan masanya. 

Dan aku hanya bisa bergumam, apa kabar layang-layang? 

Ternyata memang benar, salah satu penghambat kreativitas dan orisinalitas adalah karena terlalu mendengarkan / menanggapi / menelan mentah-mentah,...(atau apapun itu,) omongan orang lain tanpa memberi perhatian pada apa yang menjadi keyakinan kita. 

Maksudku begini lho, sebagai contoh ketika aku membuat sebuah karya typography, lalu ada beberapa orang yang boleh disebut "Pakar" yang (mungkin) tak suka atau (mungkin) mempunyai tujuan tertentu, lalu dia mengkritik habis-habisan karya typography-ku. Harusnya begini lah, begitu lah, kurang ini lah, kurang itu lah, keluar dari pakem lah, tak sesuai standard lah...bla bli blu blehh...! Sebagai seorang Start Up pastinya aku akan sangat merasa terjatuhkan dengan itu, dan akhirnya kehilangan gairah.

Lalu jika begitu apa yang akan kita dapatkan? Tidak ada! Beku! Jadi Pecundang? Bisa jadi.

Lalu apa yang harus dilakukan? Jangan tanyakan pertanyaan bodoh itu lagi! Kembalikan kreativitas pada prinsip aslinya yaitu "tak boleh berhenti," dan mencoba untuk cuek kembali. 


Pernahkah mengalami kejadian dimana kita bertemu seseorang yang pada awalnya kita anggap "nyebelin" (sebenarnya kata "nyebelin" ini terasa terlalu kasar untuk menggambarkan apa yang aku maksud.) dan membuat kita merasa kurang nyaman? Lalu terjadilah hal-hal yang mengikat interaksi kita dengan orang tersebut. Seiring berjalannya waktu, ikatan itu semakin kuat...semakin kuat dan semakin kuat. Dan pada akhirnya, kita dan orang itu saling menemukan kenyamanan dalam ber-relasi (apapun itu) dan saling ketergantungan, baik dalam bidang pekerjaan, relasi bisnis ataupun dalam hubungan sosial lainnya.

Lalu pernahkah mengalami kejadian dimana kita berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah membeli suatu barang yang kita anggap tidak bermanfaat? Karena proses hidup yang selalu bergulir, dan kebiasaan pun berubah, entah itu karena faktor tempat baru, profesi baru, hubungan baru atau apapun itu, pada akhirnya kita menjadi memerlukan kehadiran barang tersebut, bahkan kita tidak bisa jauh-jauh dari barang yang pada awalnya kita benci itu.

Alhamdulillah, beberapa minggu terakhir ini Jum'atan-ku selalu mendapatkan posisi pada shaf kedua, itu karena aku selalu mempunyai kesempatan berangkat ke Mesjid lebih awal. Tapi ada suasana berbeda pada Jum'atan tadi siang, yaitu terdapat enam orang anak laki-laki yang duduk dengan tertibnya pada shaf ketiga. Bagiku ini adalah suatu kemajuan, karena minggu-minggu sebelumnya anak-anak itu selalu duduk di shaf paling belakang sambil berisik, tapi tadi siang posisi mereka maju menjadi duduk tertib pada shaf ketiga. Kereeen!.

Ditempat kami ada kebiasaan, setelah seseorang melakukan shalat sunnah qabliyah, maka dia akan mengajak orang-orang yang berada didekat posisi duduknya untuk bersalaman. Begitupun aku, setelah aku selesai melakukan shalat sunnah qabliyah, aku langsung menyalami orang yang berada di depan, di samping kiri, di samping kanan dan dibelakangku, termasuk keenam anak yang berada di shaf ketiga itu, yaitu yang berposisi  tepat di belakngangku.  

Disini, masyarakatnya masih sangat memegang teguh adat "Pamali", termasuk Orangtuaku. "Gak boleh begini...nanti kamu bisa begitu", "Jangan ini...nanti malah itu" dan ba...bi...bu...!Tapi, aku termasuk salah satu dari orang-orang yang tidak terlalu taat pada beberapa hal yang di-pamali-kan.

Contohnya, aku suka potong kuku pada malam hari, lalu ada yang sewot karena katanya itu pamali. Aku juga pernah bersiul pada malam hari, lagi-lagi ada yang sewot, alasannya juga masih sama, pamali!. Pernah juga waktu aku nyapu lantai pada malam hari, ada yang komplain "nyapu malem-malem gini pamali loh, bisa menjauhkan rejeki!". -__-"

Akan coba aku pahami. Mungkin maksud dari tidak boleh memotong kuku pada malam hari itu adalah dikhawatirkan tangan kita bisa terluka karena pada malam hari kita tidak bisa melihat sesuatu dengan jelas. Apalagi jaman dulu yang pencahayaannya masih menggunakan lampu tempel yang bahan bakarnya masih menggunakan minyak tanah itu gitu. Masuk akal.


Tadi aku chatting-an dengan seorang teman lama. Ternyata masih seperti dulu, obrolan kami dalam chat itupun tetap ngalor-ngidul ngulon-ngetan, teu paruguh pokonamah, apapun dibicarakan, mulai dari urusan Negara sampai urusan Koteka.

Lalu akhirnya perbincangan kami pun sampai pada tema tentang blogging. Dia sempat mengungkapkan keinginannya untuk membuat/memiliki sebuah blog, tapi katannya sih dia bingung nanti mau mengisi blog-nya dengan tulisan tentang apa. "...lagipula saya gak pede, takut kalo nanti tulisan saya dibaca sama orang lain, apalagi orang yang saya kenal..." tegasnya.

Eeeetdah...! kalo tulisannya gak mau ada yang baca, nulis aja di dinding sumur, gih!. hihihi.


Terus terang selama ini aku merasa tidak begitu nyaman dengan pandangan sinis beberapa pihak terhadap Wirausahawan yang memandang pilihan karir berwirausaha itu adalah pilihan yang tidak prospektif dan tidak menjamin masa depan. 

Mungkin ini memang akan menjadi sangat wajar jika setiap orang mempunyai pandangan berbeda dalam menentukan karirnya. Ada yang ingin tetap bertahan di "zona nyaman", tapi ada juga yang ingin mengambil jalan yang berbeda. Ada yang lebih nyaman dengan cara "meneruskan sejarah", ada juga yang berusaha untuk "mencetak sejarah".

Aku tertegun saat membaca status facebook salah seorang temanku. Dalam status facebook-nya itu dia mengeluh akan kinerja kerja bawahannya yang jauh dari kata maksimal. Itu yang membuat aku heran, karena yang aku tahu dia tidak pernah menumpahkan keluhan (apalagi yang menyangkut pekerjaan) di media yang teramat "vulgar" itu (status facebook).

Sejauh ini aku mengenal dia sebagai orang yang tidak mudah untuk melontarkan teguran terhadap orang lain, terlebih melakukan komplen. Gak enakan dan takut dibenci oleh bawahan. Maklum saja, di kantor tempat ia bekerja menganut sistem kekeluargaan, padahal itu bukan usaha keluarga. Bingung aku.

Bagaimanapun, sebuah perusahaan sudah sepantasnya memiliki peraturan yang jelas dan disepakati bersama oleh semua pihak yang bersangkutan, agar semua hal yang terjadi didalamnya akan dipandang secara objektif, termasuk dalam menyelesaikan semua persoalan yang timbul. Dan yang tak kalah pentingnya adalah adanya konsistensi dalam menerapkan peraturan, karena bagaimanapun jika seseorang bersedia terlibat dalam seluruh kegiatan suatu perusahaan, itu berarti dia sudah berkomitmen untuk berpartisipasi dalam usaha memajukan perusahaan tersebut.

Paciwit-ciwit Lutung
"Paciwit-ciwit Lutung, si Lutung pindah ka luhur"

Bagi orang yang berasal dari suku Sunda atau orang yang sempat menghabiskan masa kecilnya di daerah Sunda, pasti pernah menyanyikan dan masih ingat dengan penggalan bait lagu diatas. Ya, itu adalah lagu yang dinyanyikan sebagai pengiring untuk permainan Paciwit-ciwit Lutung (Injit-injit Semut)

Aku yakin sebagian besar orang Indonesia pasti sudah tahu bagaimana cara memainkan permainan ini. Yaitu si pemain yang minimal berjumlah dua orang ini saling menyusun tangannya yang disusun keatas (bertumpuk / bertingkat). Tangan yang yang berada diatas akan mencubit tangan yang ada dibawahnya. Ketika satu bait lagu selesai dinyanyikan, maka tangan yang berada paling bawah akan berpindah ke bagian paling atas sambil mencubit tangan yang berada dibawahnya, dan begitu seterusnya.

Alhamdulillah. Minggu pagi ini terasa begitu tenang dan menyenangkan. Terkadang hal-hal kecil yang membuat kita measa begitu nyaman, luput kita syukuri. Mulai dari secangkir susu coklat hangat, sampai sapaan dari sahabat.

Terlebih di pagi ini, aku dapat berinteraksi kembali dengan seseorang yang sudah lama tak bertemu. Walaupun hanya via jejaring sosial, tapi sensasi kebahagiaan begitu terasa. Bagiku, hal seperti ini begitu berharga. Hahhhh...indahnya silaturahmi. 

Alhamdulillah. 
Aaaarrgghh...yang beli Ikan disini penuh banget. Antriii. Mana gak bawa hape lagi.

#mati gaya

Celingukan ditengah pasar ikan yang becek dan banyak ojek.

Menengok ke arah jam sembilan, kulihat seorang gadis manis berjilbab warna coklat dan berkacamata. Sejuk. Mempesona. Aura kecerdasan terpancar dari dirinya. Sampai aku segan dibuatnya. Tampak ia sedang  memesan sesuatu pada Abang penjual ikan.

Aku hanya mampu menyembunyikan senyum.

Dulu, waktu jamannya masih sekolah, aku termasuk sangat aktif dalam kegiatan olah raga, terutama Volleyball.  Selain dalam kegiatan ekskul, aku juga termasuk salah satu anggota pemain pada klub volley "Tunas Muda" yaitu salah satu klub volleyball di kawasan tempat tinggalku.

Untuk menjaga kondisi fisik,  bila tidak ada latihan dengan klub, kerap kali aku mengisi soreku dengan jogging menyusuri rel kereta api. Di rel kereta?. Ya, rel kereta!, terdengar maco kan? hihihi...alasanku memilih lintasan rel kereta api adalah karena suhu di area lintasan kereta itu lebih tinggi / panas dibanding suhu di alun-alun atau areal olah raga publik lainnya, sehingga tubuh akan lebih terpancing untuk mengeluarkan keringat, walaupun hanya lari kecil saja. Sehingga tubuhku lebih terlatih dan daya tahan tubuhku juga terasa lebih baik.

Melihat anak-anak kecil yang sedang bermain Ucing-ucingan (Kucing-kucingan), rasanya aku tengah berada didalam lorong waktu yang membawaku ke masa kecil dulu. Indah rasanya. Asa warara'as, gan!.  

Aku jadi ingat, dulu aku dan teman-teman hampir setiap sore jika cuaca cerah, kami selalu mengisinya dengan bermain ucing-ucingan. Dengan bertelanjang kaki disertai riuh ramainya keceriaan, kami berlarian di lapangan tanah merah, yang kini diatas lapangan itu sudah ngajegir sebuah rumah gedong milik orang kaya.

Salah satu permainan ucing-ucingan yang sering kami mainkan adalah permainan Ucing Sumput (Petak Umpet). Sudah tahu kan bagaimana cara bermain petak umpet?, ya aturan permainan yang kami gunakan waktu itu juga hampir sama dengan aturan permainan petak umpet yang berlaku sekarang. Pertama, semua pemain hompimpa/suit untuk menentukan siapa pemain yang menjadi Ucing (Sang Kucing).  Tapi kami mempunyai cara sendiri dalam menentukan siapa yang jadi Ucing. Caranya, kabeh barudak (semua pemain) membentuk posisi berdiri melingkar dengan menjulurkan tangan yang terkepal ke tengah lingkaran, lalu salah seorang dari kami menyentuh satu persatu kepalan tangan pemain secara berurutan berputar searah jarum jam sambil menyanyikan lagu "dat dit dut". Nah, tangan pemain yang terakhir tersentuh tepat saat lagu habis, dialah yang menjadi Ucing (Kucing). :D

Idea
Ting!!! : Arra
Sebagai seseorang yang selalu ingin mengasah kemampuan, khususnya dalam bidang yang aku sukai yaitu disain grafis, ketika ada yang memohon untuk dibuatkan sebuah disain gambar/logo, seringkali aku harus berpikir keras untuk memulai sebuah project, bahkan aku sering melihat hasil karya orang lain sebagai referensi. Sebenarnya bisa saja aku menggunakan ide yang seadanya, tapi menurutku sebuah karya (apapun itu) akan menjadi lebih bernilai ketika diselesaikan dengan mengerahkan energi semaksimal mungkin, walaupun hanya menggunakan teknik yang paling sederhana. Mengenai hasil, setidaknya baik menurut kita, karena kalau sebuah karya sudah dilempar ke khalayak ramai, itu sudah diuar kendali kita, seleralah yang akan berperan disana. Merujuk pada ungkapan salah seorang Blogger kebanggaanku,"Selera memang tidak bisa diperdebatkan".

Berbeda halnya ketika inspirasi datang dengan sendirinya, aku tinggal menuangkan imajinasi yang sudah terekam dalam pikiran kedalam media gambar yang diproses secara digital. Tapi bukan berarti tanpa harus berpikir, karena proses finishing atau penyempurnaan bukanlah perkara mudah.

Kacapi Suling
Kacapi Suling
Sudah lebih dari 2 (dua) tahun aku berada ditempat ini. Tempat yang menurutku mempunyai suasana yang sangat berbading terbalik dengan tempat tinggalku sebelumnya, Bandung. Tempat ini begitu tenang dengan suasana khas perkampungan, bahkan terkadang aku merasa tempat ini terlalu tenang untukku.

Rupanya, suasana tenang khas perkampungan ini sanggup membawa beberapa perubahan pada diriku, baik dari sisi pola pikir ataupun selera, termasuk selera musikku.

Musik Kacapi Suling yang merupakan musik tradisional khas Parahyangan atau Tatar Sunda ini kerap menemani waktuku dalam menikmati alunan musik. Dan kini, Kacapi Suling juga sudah menjadi musik yang wajib tersimpan  dalam kartu memory handphone-ku, sehingga aku bisa mendengarkannya kapan saja. 

#selama hape gak lobet

Blehh
Beberapa hari ini, waktu luangku hanya aku isi dengan menjadi silent reader dibeberapa blog keren. Ya, beberapa hari terakhir ini aku memang tidak nge-blog. Lho, kenapa?. Au ah...silau!.

Tapi setelah aku perhatikan, ternyata ada beberapa alasan kenapa aku tidak nge-blog. Pertama, karena ada beberapa kegiatan yang membuatku memutuskan untuk tidak nge-blog. Kedua, kondisi tubuhku terutama kepalaku yang masih nyat nyit nyut sisa sakit kemarin (serius). Ketiga, kompi yang sedang dalam perbaikan. Keempat, aku hanya mencari-cari alasan. Hmmm...sepertinya point yang terakhirlah yang iya banget!. 

#toyor

Baiklah, sekarang ini mood-ku memang lagi asem. Padahal ada beberapa draft dan beberapa design project yang sebagian masih bebentuk ide, sudah menunggu untuk aku selesaikan. 

Dan kali ini, aku juga gak kirim postingan dulu ah...

#lha...ini apa?

^^
Arra
Akhir-akhir ini aku dibuat terengah dengan apa yang terjadi pada sisi lain dari sebagian kecil dunia blog, khususnya pada bagian yang menjadi ruang lingkupku dalam menekuni kegiatang blogging ini . Banyak fenomena baru telah terjadi, seperti gaya baru, cara baru, rasa baru yang dibawa oleh beberapa orang blogger, dan semua itu aku rasakan begitu berdampak pada suasana baru yang (menurutku) cukup menantang. #lebbeh dikit