Senja - Olympus FE5020
Sudah lama tidak menikmati senja di atas bukit 
Dengan semilir angin menampar bosan 
Dimana aku bisa berdiri lepas penuh obsesi
Seakan merajai hamparan kota berbentuk wajan 

Disana bisa ku buang rasa sakit 

Walaupun hanya sementara
Tapi setidaknya bisa kudapat setitik inspirasi
Untuk menghadapi hidup dan kembali menjalaninya

Suasana senja di atas bukit
Sepertinya aku sakau akan itu
Ketika kegundahan sedang melanda jiwa, keindahan makna lagu "Bila Waktu Telah Berakhir" dari Opick akan sukses membuat kedua mataku berkaca-kaca. Ketika kepenatan dunia meluluhlatakkan semangatku, alunan lirik lagu "Dust In The Wind" dari Kansas kerapkali sanggup membuatku merasa lebih tenang.

Konon katanya, perasaan seseorang akan sangat mudah tersentuh, salah satunya adalah ketika jiwanya sedang berada dalam kelabilan dan ketidakpastian. 

Hari ini, aku merasa biasa saja. Tak ada kegundahan apalagi kegalauan. Tapi, rasanya ada sesuatu yang telah memberi "cambukkan" pada diriku setelah aku membaca tulisan yang terkemas dengan sangat elegan di blog Mas Zachroni Sampurno. 

Mungkin saja akan ada yang menganggap ini terlalu berlebihan. Terserah!!! yang pasti tulisan itu telah memberiku pelajaran tentang pentingnya ketenangan dalam bersikap. Selama ini aku merasa terkadang masih belum bisa mengendalikan diri saat menghadapi suatu permasalahan. Emosi yang meletup-letup. Pertimbangan yang belum matang. Terlalu berambisi (?). Entahlah.

Ahh...ini hanya sebuah renungan malam saja. Aku sangat berterima kasih kepada sang penulis yang selalu tampak keren dimataku. *mendadak gombal*

Terima Kasih Mas Zach.

Atas musibah yang telah menimpa Mas Zach, aku turut berduka. Dan untuk Arien, semoga sukses dan pulang dengan selamat dari Singapura sana. Amin.

Seperti biasa dan akan dibiasakan, pada hari sabtu aku akan posting tulisan dalam bahasa sunda. Dan kali ini yang aku publish adalah artikel yang ditulis oleh Kakakku. Terima Kasih.

Sampurasun...ngiring nyimpen tulisan simkuring ah landong simpe.

Tadi pasisiang kuring ngawangkong sareng bapa-bapa duka urang mana di tukang tambal ban, bade ngagaleuh parab manuk saurna...nyana naros kieu : Kang naha nya lamun tiap bulan puasa teh urang mah sok asa leuwih riweuh neangan dunya (duit) tibatan 11 bulan nu katukang? apanan ceuk Gusti nu Maha Suci teh urang Islam dibere waktu anu super istimewa pikeun neangan amal hade, ibadah pikeun ke jaga diakherat...ngan sabulan! nyaeta bulan Romadon nu sagala amal urang dilipatgandakeun ku Gusti!..cing salah urang teh dimana? naha tradisi nu salila ieu geus ngagetih daging? atawa pipikiran urang anu geus ka cocokan ku kapitalis, hedonisme atawa perkara perkara anu geus di jeujeuhkeun ku kaum diluar kayakinan urang pikeun ngarungkadkeun atawa ngotoran Islam?....

(edass eta patarosan meni seukeut keuna kana manah.kuring ngahuleng bingung kudu ngajawab kumaha...)

Miris rasanya jika mendengar ada upah pekerja yang belum dibayar melewati batas waktu yang sudah seharusnya, bahkan hingga berbulan-bulan. Termasuk ketika aku mendengar curhatan seorang kawan yang berprofesi sebagai buruh bangunan. Upah yang seharusnya ia terima pada setiap minggu, malah tak kunjung dapat ia genggam. Katanya sih alasannya sepele, bos-nya sedang di luar kota.

Bagaimanapun, sebagai seseorang yang pernah menjadi karyawan, tentunya aku sangat bisa memahami bagaimana rasanya jika hak yang sudah waktunya aku terima malah tertahan di "brangkas" kantor. Terlebih bagi kawanku yang dikejar-kejar kewajiban untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga kecilnya itu, apakah sang bos tidak berpikir sampai sana? Dalam hal ini, rasanya keterlaluan jika si bos menganggap mengulur waktu adalah sebuah kewajaran, karena yang namanya urusan perut mana bisa ditunda-tunda!

Ini menjadi satu pelajaran buatku. Terlepas dari berbagai kendala yang terjadi ditubuh internal pihak pengguna jasa para pekerja, tetap saja hak para pekerja tidak dapat dianggap sepele. 

Aku jadi teringat sepotong kalimat dari Uwa saat beliau memberiku wejangan beberapa tahun lalu, dan potongan kalimat ini benar-benar terpatri dipikiranku "Bayarlah upah orang yang membantumu menyelesaikan pekerjaanmu, sebelum keringat mereka mengering!"
Mungkin ini akan menjadi pertanyaan bodoh dariku. 

Seseorang yang aku kenal dan termasuk sangat aku hargai memohon bantuanku. Pastinya tanpa pikir panjang lagi aku langsung mengiyakan permohonan beliau tersebut. Dan tentu saja aku akan melakukanya dengan senang hati.

Bagaimanapun, dalam hal ini sama sekali aku tidak berharap apalagi berniat untuk mengharapkan balasan atas pertolongan yang sudah aku berikan. Ikhlas. Itu saja. 

Tapi, ketika aku selesai menunaikan tugas yang diberikan, beliau pun malah berusaha memberiku bayaran (berupa uang, tentunya). Sontak saja, secara halus aku berusaha untuk menolak pemberiannya tersebut. Karena niat awalku menerima permohonannya adalah ikhlas. Tanpa pamrih. Tapi beliau tetap saja memaksa. 

"Kok makin kurusan?" pertanyaan itulah yang kerap aku terima akhir-akhir ini, terutama ketika aku bertemu dengan kawan-kawanku di Bandung sana. Kalau berbicara soal perkurusan, sepertinya kondisi ini mulai menimpaku semenjak aku usia SD, soalnya bila melihat foto-foto masa kecilku sebelum masuk sekolah, aku tampak montok gilak, bahkan katanya saat itu aku dijuluki "Pentil Buta" (artinya tanya aja sama Mamang) Malahan kata Ibu, saat aku masih ditimbang di Posyandu, aku selalu mendapat nilai 10 di KMS (Kartu Menuju Sehat), itu artinya catatan status giziku termasuk yang paling keren.

Saat melihat foto-fotoku ketika sudah masuk Sekolah Dasar, tubuhku tampak sudah mulai nyusut, entah kenapa, padahal katanya pola makanku tidak terganggu, aku termasuk anak yang lahap makan, mungkin karena sekolah, karena semenjak SD aku sudah lumayan aktif dalam kegiatan-kegiatan sekolah terutama bidang olahraga.
Mohon koreksinya bila aku salah.

Tapi, sebagai seseorang yang tidak ingin 'gila hormat' dalam menulis, aku masih saja belum dapat benar-benar memahami tentang apa yang disebut dengan 'kualitas' sebuah tulisan. Sebenarnya apa sih kriterianya agar sebuah tulisan dapat digolongkan sebagai tulisan yang berkualitas secara keselurhan? Makanya aku pribadi sih lebih ingin menyikapi sebuah tulisan itu dengan menyebutnya 'menarik' dan 'tidak menarik' (bagiku), karena dengan begitu aku mengambil penilaian dari cara berpikirku, seleraku dan kebutuhanku secara pribadi, tidak memberi penilaian secara keseluruhan dengan menyebutnya 'berkualitas' dan 'tidak berkualitas', karena tulisan yang nemarik bagi orang lain, belum tentu menarik bagiku, begitu juga sebaliknya. Sekali lagi, ini adalah menyangkut kebutuhan masing-masing pribadi.

Dalam mencari bahan bacaan untuk mengisi waktu senggang, biasanya aku mencari tulisan yang renyah-renyah saja, yang tidak mengintimidasi otak dan tidak terlalu panjang. Otakku memang tak terlalu akur dengan tulisan yang terlalu panjang, apalagi bertele-tele. Makanya punyaku pendek. Maksudnya tulisan-tulisanku.

Kebiasaanku yang sangat jarang mengecek ulang uang kembalian usai bertransaksi, membuatku kerap pendapatkan uang lusuh dari uang kembalian itu. Beberapa kali uang lusuh tersebut aku dapatkan dari pom bensin, warung kecil, warteg, dan dari abang parkir pun pernah. Bahkan dari beberapa tempat tersebut, aku pernah mendapatkan uang yang kondisinya sudah sobek total tanpa ada potongan sobekannya. Untungnya nominal uang lusuh yang aku dapatkan tersebut biasanya tak terlalu besar, hanya berkisar diantara uang seribuan sampai lima ribuan. Tapi gimanapun juga tetep aja dongkol.

Miris juga sih, sepertinya tidak sedikit uang lusuh lain yang beredar ditengah masyarakat kita. Celakanya, kebanyakan uang lusuh tengah beredar dikalangan masyarakat kecil, yang pastinya sekecil apapun nominal uang akan dirasa sangat bernilai, sedangkan belum tentu uang lusuh pake banget tersebut bisa ditransaksikan kembali. 

Mohon maaf, kepada kawan-kawan yang tidak mengerti bahasa sunda, anda boleh skip tulisanku kali ini. Terima kasih.

Sampurasuun!!! Asa tos lami teu nyerat dina basa sunda. Derrr ah, mang!

"Acuk bedug" nyaeta basa sejen tina "Baju Lebaran". Biasana istilah heuheureuyan ieu sok dipake ku kuring jeung babaturan jang ngaheureuyan jalma sejen anu meuli atawa make baju lebaran. Contona "Adeuuuh, aya anu tos meser acuk bedug..." atawa "Wah jigana anu dipake ayeuna teh acuk bedug yeuh...?" Muehehehe.

Lamun nyinggung soal baju lebaran, pasti moal bisa leupas ti budak leutik atawa ingetan urang wanci keur leutik, soalna jang barudak leutikmah meuli baju lebaran teh jiga nu geus jadi kawajiban, da asa piraku oge babaturan na nu lain marake baju anyar ari manehna henteu mah, asa ngenes pisan, sanajan teu saeutik anu geus dewasa oge anu sok pipilueun rariweuh lamun geus nyangkut kana perkara ieuteh. Kadang lamun dipikir deui ku kuringmah, sok asa teungteuingeun.

Sayup-sayup terdengar adzan awal mengalun lembut memecah keheningan dini hari. Jemariku pun terhenti dari tariannya diatas tombol-tombol QWERTY. Haaahhh...rasanya aku ingin menghela napas. Alhamdulillah, untuk kesekian harinya mataku melek dengan mulus hingga waktu sahur tiba. 

Sebenarnya aku memang sudah terbiasa begadang kayak gini. Dulu, waktu masih tinggal di Bandung, aku sering menghabiskan waktu malam hingga subuh hanya untuk bermain game dengan kawan-kawan, maklum lah dulu aku memang gamer agak sejati. Dan kini, kebiasaan begadangku terulang lagi disini, bedanya sekarang aku begadang dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas. Ini menyangkut tanggung jawab. Dan bagaimanapun semua itu patut aku syukuri.

Hahhh...aku anggap tulisan ini adalah sebagai "pencuci mulut" setelah menelan habis waktu malam ini. Mau bobok kayaknya tanggung banget, soalnya aroma sayur asem Ibu udah menghantam bulu hidungku. Ah nanti aja tidurnya selepas shalat subuh. 

Dan yang pasti aku harus siap-siap, karena pagi hari nanti aku akan bertemu lagi sama Vampire ganteng di cermin kamar mandi. Muehehe.

Ya sudah, selamat makan sahur bagi yang menjalankannya. :-)