Terus terang selama ini aku merasa tidak begitu nyaman dengan pandangan sinis beberapa pihak terhadap Wirausahawan yang memandang pilihan karir berwirausaha itu adalah pilihan yang tidak prospektif dan tidak menjamin masa depan. 

Mungkin ini memang akan menjadi sangat wajar jika setiap orang mempunyai pandangan berbeda dalam menentukan karirnya. Ada yang ingin tetap bertahan di "zona nyaman", tapi ada juga yang ingin mengambil jalan yang berbeda. Ada yang lebih nyaman dengan cara "meneruskan sejarah", ada juga yang berusaha untuk "mencetak sejarah".

Aku tertegun saat membaca status facebook salah seorang temanku. Dalam status facebook-nya itu dia mengeluh akan kinerja kerja bawahannya yang jauh dari kata maksimal. Itu yang membuat aku heran, karena yang aku tahu dia tidak pernah menumpahkan keluhan (apalagi yang menyangkut pekerjaan) di media yang teramat "vulgar" itu (status facebook).

Sejauh ini aku mengenal dia sebagai orang yang tidak mudah untuk melontarkan teguran terhadap orang lain, terlebih melakukan komplen. Gak enakan dan takut dibenci oleh bawahan. Maklum saja, di kantor tempat ia bekerja menganut sistem kekeluargaan, padahal itu bukan usaha keluarga. Bingung aku.

Bagaimanapun, sebuah perusahaan sudah sepantasnya memiliki peraturan yang jelas dan disepakati bersama oleh semua pihak yang bersangkutan, agar semua hal yang terjadi didalamnya akan dipandang secara objektif, termasuk dalam menyelesaikan semua persoalan yang timbul. Dan yang tak kalah pentingnya adalah adanya konsistensi dalam menerapkan peraturan, karena bagaimanapun jika seseorang bersedia terlibat dalam seluruh kegiatan suatu perusahaan, itu berarti dia sudah berkomitmen untuk berpartisipasi dalam usaha memajukan perusahaan tersebut.

Paciwit-ciwit Lutung
"Paciwit-ciwit Lutung, si Lutung pindah ka luhur"

Bagi orang yang berasal dari suku Sunda atau orang yang sempat menghabiskan masa kecilnya di daerah Sunda, pasti pernah menyanyikan dan masih ingat dengan penggalan bait lagu diatas. Ya, itu adalah lagu yang dinyanyikan sebagai pengiring untuk permainan Paciwit-ciwit Lutung (Injit-injit Semut)

Aku yakin sebagian besar orang Indonesia pasti sudah tahu bagaimana cara memainkan permainan ini. Yaitu si pemain yang minimal berjumlah dua orang ini saling menyusun tangannya yang disusun keatas (bertumpuk / bertingkat). Tangan yang yang berada diatas akan mencubit tangan yang ada dibawahnya. Ketika satu bait lagu selesai dinyanyikan, maka tangan yang berada paling bawah akan berpindah ke bagian paling atas sambil mencubit tangan yang berada dibawahnya, dan begitu seterusnya.


Waktu aku sedang membuat header blog salah satu blogger seniorku, ternyata ada yang KEPO-in kerjaanku dari belakang. Dia nanya, “gimana sih cara bikin sudut gambar jadi bulet gituh?”. 

Baiklah, ternyata masih ada yang belum mengerti dengan teknik dasar ini. Aku bikin tutor dengan caraku deh, mayan buat bayar hutang postingan selama lima hari belakangan ini. :D

Alhamdulillah. Minggu pagi ini terasa begitu tenang dan menyenangkan. Terkadang hal-hal kecil yang membuat kita measa begitu nyaman, luput kita syukuri. Mulai dari secangkir susu coklat hangat, sampai sapaan dari sahabat.

Terlebih di pagi ini, aku dapat berinteraksi kembali dengan seseorang yang sudah lama tak bertemu. Walaupun hanya via jejaring sosial, tapi sensasi kebahagiaan begitu terasa. Bagiku, hal seperti ini begitu berharga. Hahhhh...indahnya silaturahmi. 

Alhamdulillah. 
Aaaarrgghh...yang beli Ikan disini penuh banget. Antriii. Mana gak bawa hape lagi.

#mati gaya

Celingukan ditengah pasar ikan yang becek dan banyak ojek.

Menengok ke arah jam sembilan, kulihat seorang gadis manis berjilbab warna coklat dan berkacamata. Sejuk. Mempesona. Aura kecerdasan terpancar dari dirinya. Sampai aku segan dibuatnya. Tampak ia sedang  memesan sesuatu pada Abang penjual ikan.

Aku hanya mampu menyembunyikan senyum.


Masih nyambung dengan postinganku yang berjudul Ucing-ucingan (Ucing Sumput), aku jadi tertarik untuk  mencari informasi lebih lengkap tentang permainan tradisional Sunda ini. Dan ada satu hal yang baru aku ketahui tentang kata "Hong!" yang diteriakan sang Ucing saat dia menemukan kawannya yang sedang nyumput (bersembunyi).

Menurut penjelasan Muhammad Zaini Alif yang merupakan seorang Dosen Seni Rupa di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan pecinta mainan rakyat, kata "Hong" pada permainan Ucing-ucingan mempunyai arti "ketemu" atau "bertemu". Arti lebihnya adalah bertemu dengan Tuhan.

Dulu, waktu jamannya masih sekolah, aku termasuk sangat aktif dalam kegiatan olah raga, terutama Volleyball.  Selain dalam kegiatan ekskul, aku juga termasuk salah satu anggota pemain pada klub volley "Tunas Muda" yaitu salah satu klub volleyball di kawasan tempat tinggalku.

Untuk menjaga kondisi fisik,  bila tidak ada latihan dengan klub, kerap kali aku mengisi soreku dengan jogging menyusuri rel kereta api. Di rel kereta?. Ya, rel kereta!, terdengar maco kan? hihihi...alasanku memilih lintasan rel kereta api adalah karena suhu di area lintasan kereta itu lebih tinggi / panas dibanding suhu di alun-alun atau areal olah raga publik lainnya, sehingga tubuh akan lebih terpancing untuk mengeluarkan keringat, walaupun hanya lari kecil saja. Sehingga tubuhku lebih terlatih dan daya tahan tubuhku juga terasa lebih baik.

Melihat anak-anak kecil yang sedang bermain Ucing-ucingan (Kucing-kucingan), rasanya aku tengah berada didalam lorong waktu yang membawaku ke masa kecil dulu. Indah rasanya. Asa warara'as, gan!.  

Aku jadi ingat, dulu aku dan teman-teman hampir setiap sore jika cuaca cerah, kami selalu mengisinya dengan bermain ucing-ucingan. Dengan bertelanjang kaki disertai riuh ramainya keceriaan, kami berlarian di lapangan tanah merah, yang kini diatas lapangan itu sudah ngajegir sebuah rumah gedong milik orang kaya.

Salah satu permainan ucing-ucingan yang sering kami mainkan adalah permainan Ucing Sumput (Petak Umpet). Sudah tahu kan bagaimana cara bermain petak umpet?, ya aturan permainan yang kami gunakan waktu itu juga hampir sama dengan aturan permainan petak umpet yang berlaku sekarang. Pertama, semua pemain hompimpa/suit untuk menentukan siapa pemain yang menjadi Ucing (Sang Kucing).  Tapi kami mempunyai cara sendiri dalam menentukan siapa yang jadi Ucing. Caranya, kabeh barudak (semua pemain) membentuk posisi berdiri melingkar dengan menjulurkan tangan yang terkepal ke tengah lingkaran, lalu salah seorang dari kami menyentuh satu persatu kepalan tangan pemain secara berurutan berputar searah jarum jam sambil menyanyikan lagu "dat dit dut". Nah, tangan pemain yang terakhir tersentuh tepat saat lagu habis, dialah yang menjadi Ucing (Kucing). :D


Penyemangat tak harus datang melalui kata-kata manis dari bibir tipis pacar, terkadang hal itu datang dari hal-hal kecil yang sering kali dianggap tak penting

Seperti yang terjadi pada salah satu karya typography-ku yang aku beri judul "Smooth Floral Typography" yang di-retweet oleh @typebot. Akun ini merupakan salah satu akun twitter dari Komunitas pecinta typography yang mengapresiasi banyak karya typography dari para Disainer Grafis dari berbagai tempat. 

Mungkin ini terasa sangat biasa, tapi yang membuatku merasa mendapat sundulan semangat adalah ketika karyaku berada diantara karya-karya yang menjadi inspirasiku selama ini. Maaf, mungkin hanya aku sendiri yang bisa merasakannya. 

Jadi, aku hanya ingin terus berkarya, berkarya dan berkarya dengan caraku...tak peduli kelak karyaku akan mendapat apresiasi atau mendapat caci maki. 

#narsis_mode_on