Alhamdulillah, sampai usiaku saat ini aku masih bisa melihat kedua Orangtuaku dalam keadaan sehat wal'afiat, tentu saja itu adalah suatu hal yang benar-benar harus aku syukuri, karena bila memperhatikan sekitar, beberapa temanku justru sudah tidak bisa bertemu dengan Orangtuanya, karena Orangtua mereka sudah meninggal dunia.

Tapi ada satu hal yang baru aku sadari. Saat masih kecil, kita cenderung tidak ingin berpisah dari Orangtua. Saat terbangun dari tidur, yang kita cari pasti Orangtua, saat mau makan pun begitu, bahkan saat mau pipis pun kita akan memanggil mereka. Tapi ketika semakin kita tumbuh dewasa, maka akan timbul keinginan untuk menjauh dari Orangtua, dengan alasan "kemandirian" (walaupun aku yakin tidak semua orang begitu.) 

Saat menginjak remaja, kita sudah mulai tak menghiraukan petuah Orangtua, karena (mungkin) tak ingin terlalu diawasi. Saat sudah mempunyai penghasilan sendiri, maka semakin besar keinginan untuk lebih "menjauh" dari Orangtua, punya rumah sendiri, kehidupan sendiri, aturan sendiri, dan yang lainnya pasti anda tahu sendiri hi hi hi. Aku pikir itu memang sesuatu yang wajar, karna ya itu tadi, karena memang alasan ingin mandiri.

Tapi kepikiran gak sih? semakin kita dewasa maka waktu kita untuk melihat Orangtua kita juga semakin berkurang. Kita semakin tua, apalagi Orangtua kita. Disini aku berbicara soal ajal. Tak ada yang bisa menebak masa depan dengan pasti, entah siapa yang terlebih dahulu dipanggil oleh-Nya. 

Nah, dari situ aku berpikir, mengapa aku harus mempunyai pikiran untuk semakin "menjauh" dari Orangtua, sedangkan  kesempatanku untuk bisa melihat / bersama mereka di dunia akan terus berkurang?

Hmm...?
29 Ways to Stay Creative

29 Ways to Stay Creative

Project by : Islam Abudaoud


Heii...lihat anak-anak kecil yang sedang berlarian itu, dengan telanjang kaki dan masing-masing membawa sebatang pohon Singkong mereka mengejar sebuah layang-layang putus. Layang-layang itu memang tak terlalu besar, jelek pulak, kertasnya saja sudah bolong, tapi itu tak menyurutkan semangat mereka untuk berlomba-lomba mendapatkan layang-layang tersebut, tentunya sambil berteriak-teriak dengan suara cempreng yang bisa membuat sakit gendang telinga “...awaaass, ku aiing!!! Awaaaass...beunang ku aiiiing!!!”

Akhirnya salah seorang dari mereka pun mendapatkan layang-layang itu. Kakinya yang terluka karena berlari di tanah sawah yang kering tanpa alas kaki pun seakan sudah dianggapnya  terbayar lunas dengan pencapaiannya itu. Luka ditangan karena tersayat gelasan (tali/benang layangan) pun tak ia pedulikan. Yang ada dipikirannya adalah "aku harus segera menerbangkan layangan ini, dan ngadu lagi!!!"

Dengan pasti ia menantang angin agar bertiup lebih kencang "kiuk...kiuk...kiuuuuuuukk!!!" serunya, memanggil angin. Jidatnya yang kian legam seakan menjadi bagian yang berada di garis depan dalam  melawan ganasnya terik Matahari. 

Layang-layang pun kini telah terbang, benang kian diulur untuk mencari lawan. Yapp...penantang pun datang, benang sudah saling mengait, adu strategi tarik ulur berlangsung seru dan tanpa ampun. Dan..."Yaaah...putuus." Dia kalah.

Ya, layang-layang yang dia dapatkan dengan susah payah tadi kini sudah lenyap dari genggaman. Diiringi suasana redup senja, dia dan merekapun berjalan beriringan untuk pulang, tentunya dengan rasa bahagia tanpa penyesalan. 

Sayangnya, semua kejadian itu hanya terjadi dalam kenanganku saja. Kenangan yang aku layangkan saat aku termangu di jalan setapak tengah sawah yang menjadi tempat menerbangkan layang-layangku dulu. Kini, tak terlihat lagi anak kecil yang berlarian mengejar layang-layang. Kini, tak terdengar lagi teriakan anak kecil yang berdebat memperebutkan sebuah layang-layang. Haaaaahhh...rasanya aku rindu dengan suasana itu.

Angin terasa semakin dingin, suasana semakin remang, puji-pujian mulai berkumandang, seakan memintaku untuk keluar dari kenangan. Ya sudah, semua sudah tak sama, mungkin memang sudah bukan masanya. 

Dan aku hanya bisa bergumam, apa kabar layang-layang? 

Ternyata memang benar, salah satu penghambat kreativitas dan orisinalitas adalah karena terlalu mendengarkan / menanggapi / menelan mentah-mentah,...(atau apapun itu,) omongan orang lain tanpa memberi perhatian pada apa yang menjadi keyakinan kita. 

Maksudku begini lho, sebagai contoh ketika aku membuat sebuah karya typography, lalu ada beberapa orang yang boleh disebut "Pakar" yang (mungkin) tak suka atau (mungkin) mempunyai tujuan tertentu, lalu dia mengkritik habis-habisan karya typography-ku. Harusnya begini lah, begitu lah, kurang ini lah, kurang itu lah, keluar dari pakem lah, tak sesuai standard lah...bla bli blu blehh...! Sebagai seorang Start Up pastinya aku akan sangat merasa terjatuhkan dengan itu, dan akhirnya kehilangan gairah.

Lalu jika begitu apa yang akan kita dapatkan? Tidak ada! Beku! Jadi Pecundang? Bisa jadi.

Lalu apa yang harus dilakukan? Jangan tanyakan pertanyaan bodoh itu lagi! Kembalikan kreativitas pada prinsip aslinya yaitu "tak boleh berhenti," dan mencoba untuk cuek kembali. 


Berawal dari iseng ngubek-ngubek HDD komputer, eh akhirnya aku terdampar di salah satu folder yang aku beri nama "My Typo". Folder itu berisikan karya-karya typography yang pernah aku buat. Dan disana pula lah aku menemukan typography yang merupakan karya typography pertamaku. Ini dia : 


Typography ini aku disain pada tahun 2011 yang lalu dan inspirasi typography ini aku dapatkan setelah aku membaca salah satu tulisan Teh Dewi Lestari (judulnya aku lupa) yang bertema Go Green. Typography ini juga cukup berkesan bagiku, karena saat membuat karya ini aku masih baru mempelajari disain grafis. Tapi walaupun sangat sederhana, aku sangat puas dengan hasilnya.

Gambar : twicsy.com
Sebelum menulis ini, aku sempat membaca tulisan keren dari mbak-mbak yang suaranya ngangenin banget, yaitu Mbak Dinie Haiti Zulfany dengan tulisannya yang berjudul "Perang Pemikiran, Ghazwul Fikri". Walau konteksnya berbeda, tapi aku merasa tulisan Mbak Dinie itu ada kaitannya dengan tema yang hendak aku angkat pada postinganku kali ini. Sebenarnya ini adalah salah satu tulisan dari Blog Urang Lembur yang aku tulis dalam versi bahasa Indonesia.  

Dalam tulisan ini aku masih membahas seputar bahasa daerah, khususnya bahasa sunda. Setelah memutuskan untuk membuat blog yang secara khusus aku isi dengan tulisan-tulisanku yang dikemas dalam bahasa sunda, aku baru benar-benar menyadari ternyata membuat tulisan dalam bahasa sunda itu tidak mudah. Jangankan nulis, baca tulisan majalah berbahasa sunda saja aku kayak yang lagi belajar baca, gak lancar seperti ketika aku membaca tulisan yang berbahasa Indonesia. Lho, aku kan asli berasal dari suku sunda, tapi kok nulis/membaca tulisan dalam bahasa sunda aja sampe kesulitan gitu? Hadohh.
#toyor pala sendiri
Gambar : Dari Gugel
Sebenarnya sudah sejak dulu aku ingin membuat postingan dalam bahasa sunda di blog ini, terlebih lagi dulu aku sempet dikomporin sama Juragan Tower supaya aku mulai menulis dengan menggunakan bahasa sunda, dan di sisi lain aku juga berterima kasih pada beliau karena secara tidak langsung sudah memberiku semangat untuk menulis dalam bahasa daerah. Tapi aku sempat ragu, karena teman-teman yang tidak mengerti bahasa sunda pasti akan kebingungan dengan tulisanku itu.

Nah, dari sanalah aku mulai berpikir untuk membuat sebuah blog yang dikhususkan untuk tulisan-tulisanku yang dikemas dalam bahasa sunda, sehingga keinginanku untuk menulis dalam bahasa sunda bisa tersalurkan, dan tidak tercampur-aduk dengan tulisan-tulisanku yang berbahasa Indonesia di blog ini. Tapi sesekali aku juga pasti akan posting tulisanku yang berbahasa sunda itu di blog ini.

Tapi mohon maaf jika bahasa sunda ku masih berantakan, masih campuran gitu deh. Ya setidaknya aku sudah berusaha melestarikan bahasa Nenek Moyangku dengan mempergunakannya dalam menulis di blog, dan aku juga ingin menunjukkan kalau aku tidak malu mempergunakan bahasa daerah. Pokona soal hade-goreng namah  sabodo teuing lah, nu penting kuring bisa make basa sunda, dan aku bangga berbahasa sunda, bahasa leluhurku.

Baiklah, pokoknya gitu deh. Dan semoga aku mulai aktif menulis lagi setelah bebrapa hari terakhir ini pura-pura gak punya waktu buat nulis. #payah
Pernahkah mengalami kejadian dimana kita bertemu seseorang yang pada awalnya kita anggap "nyebelin" (sebenarnya kata "nyebelin" ini terasa terlalu kasar untuk menggambarkan apa yang aku maksud.) dan membuat kita merasa kurang nyaman? Lalu terjadilah hal-hal yang mengikat interaksi kita dengan orang tersebut. Seiring berjalannya waktu, ikatan itu semakin kuat...semakin kuat dan semakin kuat. Dan pada akhirnya, kita dan orang itu saling menemukan kenyamanan dalam ber-relasi (apapun itu) dan saling ketergantungan, baik dalam bidang pekerjaan, relasi bisnis ataupun dalam hubungan sosial lainnya.

Lalu pernahkah mengalami kejadian dimana kita berjanji pada diri sendiri untuk tidak pernah membeli suatu barang yang kita anggap tidak bermanfaat? Karena proses hidup yang selalu bergulir, dan kebiasaan pun berubah, entah itu karena faktor tempat baru, profesi baru, hubungan baru atau apapun itu, pada akhirnya kita menjadi memerlukan kehadiran barang tersebut, bahkan kita tidak bisa jauh-jauh dari barang yang pada awalnya kita benci itu.



Sebagai bentuk dukungan dariku terhadap peluncuran Rekening Amal Komunitas Blogger KPK ini, maka pada postingan kali ini aku me-repost postingan Mbak Dinie yang berisi tentang Rincian dan mekanisme rekening amal Komunitas Blogger KPK. 

Alhamdulillah, beberapa minggu terakhir ini Jum'atan-ku selalu mendapatkan posisi pada shaf kedua, itu karena aku selalu mempunyai kesempatan berangkat ke Mesjid lebih awal. Tapi ada suasana berbeda pada Jum'atan tadi siang, yaitu terdapat enam orang anak laki-laki yang duduk dengan tertibnya pada shaf ketiga. Bagiku ini adalah suatu kemajuan, karena minggu-minggu sebelumnya anak-anak itu selalu duduk di shaf paling belakang sambil berisik, tapi tadi siang posisi mereka maju menjadi duduk tertib pada shaf ketiga. Kereeen!.

Ditempat kami ada kebiasaan, setelah seseorang melakukan shalat sunnah qabliyah, maka dia akan mengajak orang-orang yang berada didekat posisi duduknya untuk bersalaman. Begitupun aku, setelah aku selesai melakukan shalat sunnah qabliyah, aku langsung menyalami orang yang berada di depan, di samping kiri, di samping kanan dan dibelakangku, termasuk keenam anak yang berada di shaf ketiga itu, yaitu yang berposisi  tepat di belakngangku.